Chapter 15: Buket Bunga Kedua

109 9 12
                                    

Priam sedang terjebak dalam lautan manusia. Rapatnya sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, tapi perjalanan menuju restoran, tempat pertemuannya dengan kandidat surrogate mother akan terlambat. Dia sudah mengirim pesan kepada Freya, kalau dirinya akan terlambat sampai waktu yang tidak bisa diprediksi.

“Macet banget, Pak.” Pak Samsul berusaha memecah kesunyian serta kecemasan tuannya.

“Tidak apa-apa, Pak. Lagian banyak orang yang turun ke jalan. Apa mereka sedang demo?” Priam bertanya balik.

Pak Samsul yang tadi sudah menegangkan wajahnya karena takut kena semprot Priam karena keterlambatan ini, akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya tuannya tidak memasang wajah galak seperti singa jantan yang ingin berkelahi dengan singa lainnya.

“Sepertinya tidak, Pak. Kalau tidak salah sedang ada festival kembang api untuk memperingati hari jadi kota ini, Pak,” Pak Samsul menjawab santai. Ia tahu berita festival kembang api ini dari beberapa satpam di pos pengamanan. Ia selalu menunggu di sana sampai tuannya minta diantar ke tempat lain atau sampai pulang.

Mata Priam melebar. “Festivalnya hari ini?”

Pak Samsul mengangguk. “Iya, Pak.”

Seketika ada perasaan amat bersalah menghantam perasaan Priam. Itu tandanya dia telah melupakan sesuatu. “Pak Samsul, putar balik.”

“Pu-putar balik, Pak?” Pak Samsul memastikan.

“Iya, ada suatu tempat yang ingin aku kunjungi sebelum malam.”

“Baik, Pak!” Pak Samsul menajamkan matanya untuk melihat rambu putar balik. Meskipun mobil dalam kecepatan merayap, ia berhasil menemukan rambu itu dan menuju tempat yang sudah diberitahukan oleh Priam.

Beruntung saat putar balik, kerumunan warga kota tidak terlalu banyak. Mobil bisa melaju dengan kecepatan sedang. Kini Priam berubah menjadi gelisah berharap agar mobil ini bisa melaju secepatnya.

Untuk pertama kalinya aku melupakanmu. Maaf.

“Nanti di persimpangan ada toko bunga, kita mampir sebentar.”

“Baik, Pak.” Pak Samsul mengangguk. Sebenarnya ia sedikit terganggu dengan suara ketukan jari ke jendela mobil yang diciptakan oleh tuannya. Jika Priam sudah melakukan hal demikian, berarti dia benar-benar telah melakukan kesalahan yang fatal.

Mobil itu berhenti, Priam langsung membuka pintu sebelum Pak Samsul membukakannya. Dia segera menghentikan pemilik toko bunga sebelum tokonya ditutup.

“Aku ingin membeli bunga! Kumohon, jangan tutup tokonya.” Priam menunduk agak rendah dari perempuan pemilik toko itu.

“Tapi saya sudah tutup, Pak.” Perempuan itu sudah hampir menutup rolling door tokonya

“Aku akan membeli berapapun, asal berikan aku satu buket bunga. Tolong ....” Priam harus berlutut di depan perempuan itu.

Pak Samsul terkejut dengan apa yang dilihatnya. Tuannya sedang berlutut di hadapan orang lain. Pemandangan yang sangat langka, pikirnya.

Perempuan pemilik toko itu mundur ke belakang karena kaget melihat calon pembelinya memohon. “Jangan berlutut di depan saya, Pak. Saya akan membuatkan satu buket bunga untuk Anda.” Ia mendorong rolling door tokonya ke atas. Toko bunga itu tidak jadi ditutup.

“Terima kasih.” Priam baru bisa tersenyum lebar penuh penghargaan kepada perempuan pemilik toko bunga itu.

Pintu kaca toko itu terbuka. Lampu-lampu di nyalakan, lalu perempuan itu siap merangkaikan satu buket untuk Priam.

Tangan pemilik toko itu terampil, hingga lima belas menit untuk menunggu terasa sangat singkat. “Ini buket kedua buatan saya dengan jenis, bentuk, dan warna bunga yang sama dalam sehari ini.”

“Memangnya setiap satu buket bunga yang dijual selalu berbeda?” Priam mencoba mengimbangi pernyataan perempuan itu.

“Iya, sesuai pesanan. Tadi seorang pria juga meminta buket bunga seperti ini. Katanya buket ini paling indah dibanding yang lain.”

Priam tersenyum. “Pasti pria itu memberikan kepada kekasihnya.”

“Bisa jadi, mungkin saja.” perempuan itu menghela napas. Buket bunga yang dibuatnya tinggal mendapat sentuhan sedikit di bagian pita.

“Mungkin?” Priam menatap penuh penasaran.

“Pria itu melajukan mobilnya ke arah barat, menuju jalan menanjak itu. Anda pastinya tau, jika setelah jalan menanjak itu adalah jalan buntu yang lahannya untuk tempat pemakaman.”

Priam hanya ber-oh, tidak menanggapi lebih lanjut.

“Selesai. Silakan Pak. Buket bunga pesanan Bapak sudah jadi.” Perempuan itu menyodorkan buket itu kepada Priam.

Priam menerimanya dengan senang hati. “Terima kasih.” Dia juga mengeluarkan uang bernominal seratus ribu sejumlah 10 lembar. “Terimalah.”

Perempuan itu hanya tersenyum, lalu mengambil satu lembar uang seratus ribu. “Ini saja sudah cukup untuk membayar buket itu.”

“Tapi ini sebagai bentuk rasa terima kasihku kepada Anda. Karena Anda bersedia membuatkan buket meskipun toko Anda sudah tutup.” Priam sedikit memaksa.

Perempuan itu menggeleng. “Tidak perlu Pak. Silakan pergi, saya akan menutup toko saya.”

“Terima kasih.” Priam membungkuk berkali-kali. “Buket bunga ini untuk istri saya.”

Setelah itu, Priam langsung berlari menuju mobil, lalu masuk kedalamnya. Dia memerintahkan Pak Samsul untuk melajukan mobil lebih cepat ke arah barat menuju jalan yang menanjak.

Karena kondisi jalan yang tidak terlalu lebar, dan tidak ramai. Mobil itu melaju mulus dengan kecepatan sedang. Hingga lima menit kemudian dia sampai di tempat tujuan. Sebuah makam yang lokasinya tepat di lahan jalan buntu.

“Aku datang.” Priam tersenyum sambil menggenggam erat buket bunga yang baru dibelinya tadi.

Dipublikasikan, 21 Juli 2021
Novel ini bisa diakses di app GoodNovel

(Not) A Queen (21+) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang