Part 19

1.8K 71 0
                                    

Part 19

Seperti pada permintaan Diana kemarin malam, Aska pulang bekerja sebelum jam sembilan. Saat itu Diana juga belum tidur, ia hanya bermain ponsel di kamarnya karena bosan. Namun saat mendengar pintu kamar terbuka, di saat itu lah Diana menyunggingkan senyumnya. Entah kenapa, perasaannya yang sempat tidak nyaman kini berubah menjadi rasa semangat.

"Aska, kamu baru pulang?"

"Iya. Kamu belum tidur?"

"Belum. Aku bosan di kamar, dari tadi cuma main HP, aku juga enggak bisa tidur." Diana menjawab lesu, yang tentu saja membuat Aska merasa bersalah karena sudah meninggalkannya seharian untuk bekerja.

"Kamu sudah makan?"

"Belum?"

"Kenapa belum makan? Memangnya Bunda enggak nyuruh kamu makan?"

"Sudah kok. Tapi, akunya aja yang enggak mau. Jadi aku beralasan mau makan malam sama kamu." Diana menjawab dengan nada yang sama, sedangkan Aska hanya menghela nafas mendengarnya.

"Memangnya kamu mau makan apa?"

"Emh ... bakso," jawab Diana ragu-ragu yang kali ini disenyumi oleh Aska.

"Ya sudah kalau begitu aku mandi dulu, setelah itu kita pergi ke tempat bakso langganan kita, bagaimana?" tawar Aska yang seketika membuat Diana tersenyum semringah.

"Serius?"

"Serius lah. Aku mandi dulu ya?" pamit Aska sembari melepas jaket dan tasnya lalu mengambil handuknya. Tanpa menyadari bagaimana Diana begitu kegirangan hanya karena bisa keluar untuk jalan-jalan, meskipun dengan alasan makan malam.

Jujur saja, seharian di rumah Aska, membuatnya sangat bosan, mood-nya mudah naik turun, meskipun adik ipar dan mertuanya sudah sangat berusaha membuatnya nyaman dan menawarinya banyak hal. Namun anehnya saat melihat Aska pulang, perasaannya merasa tenang, ada rasa bahagia dan lega hanya dengan mengetahuinya datang.

Diana pikir, perasaan itu mungkin karena bawaan dari janin yang sedang di kandungannya. Ia juga yakin, anak itu sangat menyayangi ayahnya meskipun dia tidak bisa dikatakan belum bernyawa.

Memikirkannya dan menebak-nebak perasaan janinnya membuat Diana tersenyum, tanpa sadar tangannya terulur mengelus perut ratanya. Sampai saat Diana merasa apa yang ia lakukan salah, karena tidak seharusnya ia merasa bahagia. Tidak ingin melakukan hal yang menurutnya aneh, Diana memutuskan untuk bermain ponsel dan duduk di ranjang dengan sandaran bantal.

"Papa ...." Diana bergumam lirih, saat layar ponselnya memunculkan nama papa yang menandakan seseorang itu tengah menghubunginya.

"Bagaimana ini?" Diana tampak takut untuk menjawabnya, namun ada satu hal yang harus ia sampaikan pada papanya.

"Hallo, Pa. Papa apa kabar?" Pada akhirnya Diana menjawab dan menyapa papanya, meski nada suaranya tampak takut namun ia berusaha untuk tetap tenang.

"Papa baik. Kamu sendiri bagaimana?"

"Aku juga baik kok, Pa. Kebetulan banget Papa telepon, aku mau ngomong sesuatu ke Papa."

"Oh ya? Memangnya kamu mau ngomong apa?"

"Aku cuti kuliah untuk setahun ini ya, Pa?"

"Loh ada apa? Memangnya kamu kenapa? Apa kamu ada masalah di sana?" Suara papanya terdengar khawatir, membuat Diana merasa semakin bersalah sudah hamil dan menikah tanpa sepengetahuannya.

"Enggak kok, Pa. Aku cuma mau kuliah di Australia tahun depan, boleh enggak, Pa?"

"Ya boleh aja sih. Tapi kenapa tiba-tiba kamu mau kuliah di luar negeri, bukannya kamu sempat jawab enggak ya waktu Papa tawari kamu kuliah di luar?"

Pregnant With My Friend (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang