OH 3

11.5K 802 9
                                    

Ulang tahun Putri berlalu dengan makan bersama di sebuah lesehan ayam panggang langgangan Kara dan teman-teman kerjanya. Tempat yang sederhana, dengan harga yang tidak selangit, tapi dengan rasa yang mampu membuat orang ketagihan. Setidaknya begitulah bagi Kara dengan keuangannya yang pas-pasan.

Teman-teman juga membeli kue tart yang lumayan enak. Malam itu dilalu dengan gelak tawa, mereka baru keluar dari warung lesehan itu 2 jam kemudian dengan Putri yang membawa banyak kado dengan berbagai ukuran. Mereka berencana untuk karaoke di sebuah karaoke yang tidak jauh dari warung lesehan. Tapi yang Kara inginkan adalah berada dirumahnya yang sederhana. Dan tidak ada ada seorang pun yang bisa membujuknya. Bukannya tidak setia kawan. Tapi yang Kara butuhkan saat ini adalah rumahnya, tempatnya menyendiri untuk membayangkan kedua anak yang tidak di duganya akan bertemu hari ini.

Didalam Bus Kara merenung. Memandang keluar jendela sambil sesekali menggigit bibirnya. Anak-anaknya tumbuh dengan sehat dan tampan. Leo pasti menjaga anaknya dengan baik, memastikan gizi mereka terpenuhi. Dan mereka tampak bahagia. Kara tersenyum mengingat wajah mereka yang ceria. Syukurlah, mereka tidak tumbuh seperti ayahnya yang dingin dan sangat kaku. Hal yang selalu dibisikkan oleh Kara saat mereka masih ada dalam kandungannya. Kara terharu. Buram matanya. Kali ini, setidaknya air matanya menetes karena bahagia bisa melihat anak-anaknya. Pasti lebih bahagia jika dia bisa memeluk anak-anaknya, memasakkan makanan untuk mereka, memandikan, memakaikan pakaian, menemani bermain, mengantar kesekolah, mendengarkan cerita-cerita mereka, menghapus air mata mereka jika mereka menangis, mengasuh mereka tidur. Dan yang pasti membahagiakan adalah bila bisa mendengar mereka menyebutnya, memanggilnya, Mama.

Tapi, Kara tahu. Leo takkan mengizinkan. Sejak awal Leo sudah mengatakan anak-anak adalah kepemilikannya dan Kara tak berhak atas mereka sama sekali. Hal itu sudah dikatakan Leo jauh-jauh hari sebelum mereka tumbuh di rahimnya. Dan Kara takkan pernah lupa akan hal itu. kenyataan bahwa meskipun mereka anak-anaknya, mereka bukan haknya.

Varo, Vero, Kara berbisik dalam hati. Mengingat nama yang tadi disebutkan oleh wanita tadi. dalam diam Kara menebak-nebak yang manakah Varo dan yang mana Vero. Tebersit sesal kenapa tadi dia tidak mengamati mereka dengan detail. Karena untuk bertemu lagi, Kara tak yakin akan terjadi lagi.

Kara menangis. Mengurung dirinya dalam rumahnya yang mungil. Beruntung karena hari ini dan besok dia tak bekerja. Menangisi anak-anaknya. Merasakan betapa rindu itu justru semakin besar setelah dia bisa melihat anak-anak. Dia butuh melihat mereka lagi. Tapi dia tidak bisa. Leo dan kekuasaannya takkan mengizinkan, begitu juga dengan kemurahan hatinya yang tak pernah ada.

Leo kaya raya. Sementara dia hidup dalam kemiskinan. Kehidupan bertolak belakang yang dulu membuat mereka terikat pernikahan dengan kenyataan kembali harus bercerai. Leo punya segala hal yang lelaki inginkan, yang akan membuat wanita memujanya, wanita selain Kara. Cintanya tak pernah tumbuh untuk Leo, tidak pernah ada rasa sejenis itu. Leo boleh sempurna, tapi Kara telah membuka matanya selebar-lebarnya saat pertama kali mengenal sosok Leo agar tidak tergoda dengan tampilan luar Leo yang memukau.

Dia sukses membentengi dirinya agar hatinya tak tersentuh pesona Leo. Mampu menjalankan tugasnya secara professional. Ya, pernikahan yang terasa seperti pekerjaan untuknya. Dia mampu menjalankan tugasnya melayani Leo dan langsung pergi tanpa pernah berharap Leo akan mendekapnya seperti seharusnya. Meletakkan posisinya sebagai pelacur, pelacur yang dinikahi. Datang jika mendapatkan tugas, dan pergi jika telah menyelesaikan tugasnya.

Tapi walau bagaimanapun, Kara tak bisa bohong jika rasa Leo masih tertinggal di satu sudut dirinya yang tak terjamah.

Mengingat Leo membuat Kara mengingat anak-anaknya, mengingat rentang hidupnya dan anak-anaknya, status social mereka yang berbeda. Tumbuh rasa takut dihati Kara, anaknya berbeda dengannya. Lihat saja, dia harus melayani anak-anaknya di meja kasir. Belum lagi pakaian mereka yang berbeda, kendaraan yang mereka gunakan juga berbeda, rumah tempat mereka tinggal, Kara merasa sedih. Anak-anaknya mungkin memang seharusnya tidak tahu tentangnya sama sekali. Dia bukanlah sosok ibu yang pantas untuk anak-anaknya.

Only HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang