OH 5

10.4K 780 12
                                    

“tapi, apa salah saya, Bu ?”, Kara benci matanya telah berkaca-kaca. Dihadapannya, atasan mengatakan dia di berhentikan. Dia telah bekerja dengan baik. Tidak pernah mendapat teguran, dan sekarang mereka memberhentikannya. Apakah karena kekuasaan. Leo, Kara membatin, tega sekali, bisiknya sedih.

Kara yakin sekali, pemecatannya pasti karena ulah pria itu. dia tidak punya orang lain yang bisa menyakitinya seperti Leo, setidaknya hanya dia yang punya kekuasaan sehingga mampu berbuat apa saja.

“Maafkan saya Kara. Ini perintah langsung dari atasan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya memerintahkan, saya sebagai bawahan hanya mengikuti perintah”, Ibu yang berada dihadapan Kara menampakkan wajah menyesalnya. Mungkin memahami ketidakadilan yang sedang menimpa Kara.

Jawaban itu membuat Kara langsung berdiri dari duduknya. Terlalu paham makna tersirat dari ucapan atasannya ini. Tangannya yang memegang amplop gaji terakhirnya mengepal keras. “terimakasih”, ucapnya, dan langsung pergi dari ruangan atasannya.

Membereskan barang-barangnya. Kara langsung bergegas pergi meninggalkan tempat kerjanya.

Kali ini, dia yang akan mencari Leo. Laki-laki itu harus mempertanggung jawabkan semua ini. Meski akhirnya, Kara lunglai. Apa yang bisa dia lakukan jika sudah berhadapan dengan Leo ? Leo mungkin sama sekali tak peduli akan kemarahannya. Selama apa yang dia inginkan tercapai. Ya Tuhan, sampai kapan dia harus terkait dengan pria itu.

Tidak, setidaknya dia harus tahu kenapa Leo memperlakukannya seperti ini !

Perjalanan menggunakan bus, juga hitungan jarak yang harus di lewati dengan berjalan kaki, Kara berfikir akan satu-satunya tempat yang akan dia tuju. Rumah yang dulu dia tinggali bersama Leo. Dulu setelah perceraian, dia sempat datang kerumah ini, maksudnya melihat dari kejauhan, dan yang dia dapati hanyalah rumah yang kosong tanpa penghuni. Leo waktu itu sudah pergi, membawa anak-anaknya, bisa saja pindah ketempat lain, tapi Kara punya pemikiran Leo membawa anak-anaknya keluar negeri.

Sekarang matahari sedang terik-teriknya, tapi langkah Kara tidak goyah. Sekalipun Leo mungkin tidak tinggal disana lagi, ataupun jika saat ini dia tidak sedang ada di rumah, dengan usaha Kara merasa setidaknya dia tidak terpuruk. Dia akan mencari Leo, satu-satunya cara untuk membuat dia merasa lebih tenang. Dia tidak bisa berdiam diri, sementara kemarahan dihatinya semakin lama semakin menuntut pelampiasan.

Leo, sebuah mobil berjalan dengan kecepatan lambat dan melewati Kara begitu saja, awalnya Kara tidak menaruh perhatian akan mobil itu, tapi pada saat mobil itu berbelok menuju sebuah gerbang rumah yang juga dituju oleh Kara, wanita itu langsung mempercepat langkahnya. Rumah itu telah berpenghuni, mungkin Leo, atau mungkin saja pemilik yang baru, tidak ! Kara tidak akan berspekulasi sebelum memastikannya. Pintu gerbang telah terbuka, mobil bewarna hitam itu masuk kedalam. Kara akhirnya berlari, ingin melihat secara langsung siapa yang keluar dari mobil itu. langkahnya sudah mendekati gerbang saat langkahnya terpaku di tempat. Disana, di depan pintu utama rumah Leo, terparkir mobil yang tadi dilihatnya. Tapi bukan itu, dua sosok yang keluar dan berlarian memasuki rumah yang menarik perhatian Kara. Mereka, dalam balutan pakaian sekolah, terlihat ceria. Dan kerinduan itu menggebu-gebu lagi. Kara ingin melihat mereka lebih dekat.

Varo,
Vero,
Yang sampai sekarang belum dia ketahui, yang manakah Varo dan mana Vero. Siapa yang kakak dan siapa yang adik. Anak-anaknya…

“Nyonya…”, suara yang terdengar seperti tercengang mengalihkan tatapan Kara dari pintu utama yang telah tertutup, dimana anak-anaknya masuk dan menghilang dari pandangannya. Sekarang Kara bersitatap dengan seorang satpam yang terlihat cukup berumur, dengan wajah yang dulu hadir dalam kepingan masa lalunya, dirumah ini.

“Nyonya, anda… Nyonya Kara kan ?”, pria yang Kara ingat bernama Jaya itu menatap Kara dengan ragu-ragu, tapi kemudian tatapannya berubah sendu.

Only HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang