OH 10

9.6K 725 19
                                    

Hal pertama yang Kara lakukan adalah membuka gorden kamar yang bewarna biru langit dengan motif bintang-bintang. Apakah terlalu manis untuk ukuran kamar anak laki-laki ? Kara malah suka dengan gorden ini. Setidaknya kamar anaknya selayaknya kamar anak-anaknya bukan kamar lelaki yang dewasa sebelum waktu. Manis ? memang anak-anaknya manis kok, batin Kara tersenyum.

Vero menggeliat. Membuat Kara gemas setengah mati. Ada hasrat ingin membangunkan anaknya itu dengan menggelitikinya sampai lemas. Kejamkah ? belum tentu kejam. Dia juga tidak tahu apakah Vero tipe menggeli sepertinya.

Kara mendekat, anaknya ternyata tidak mudah terbangun. Tidak seperti dia ataupun Leo. Dan sepertinya dia harus mendisiplinkan Vero.walaupun cara apa yang harus dia pakai, belum terfikirkan olehnya.

"Vero", tangannya membelai rambut Vero, bermaksud membangunkan buah hatinya yang bungsu, tidak tahu jika belaiannya malah semakin menentramkan tidur Vero di pagi harinya. Karena tidak tahan, Kara dengan hampir semua kekuatannya mengangkat tubuh Vero untuk terduduk dipangkuannya. Membangunkan si tampan kecilnya.

"Vero. Sudah pagi. Bangun sayang...", di guncang-guncangnya tubuh Vero sampai akhirnya bocah 5 tahun itu terjaga, matanya menatap polos kearah Kara. Kelihatan belum tersadar sepenuhnya.

"hei. Sudah pagi. Ayo siap-siap untuk sekolah"

Wajah Vero muram seketika, masih dipangkuan Kara dia menundukkan kepalanya. "Vero nggak mau sekolah tanpa Varo", ucapnya.

Kara tersenyum, "kalau Vero nggak sekolah. Papa mungkin nggak bakal kasih izin Vero jenguk Varo"

"bener, tante ? Papa bilang gitu ?"

Kali ini Kara meringis, "tante nebak aja sih. Tapi bisa ajakan Papa bakal bilang gitu", ucapnya mencoba menyakinkan.

"eh, tapi kok tante tiba-tiba ada disini. Tante yang dirumah sakitkan ?",

"tante kerja jadi baby sitternya kamu dan Varo. Mulai sekarang tante bakal merawat kalian"

"baby sitter ?"

"iya. Udah mandi dulu. Nanti terlambat. Vero udah bisa mandi sendiri ?"

"udah dong tante. Vero kan udah besar !", ucapnya dan langsung ngacir kekamar mandi. Meninggalkan Kara yang menggelengkan kepalanya heran. Siapa sih yang mewarisi sifat itu pada Vero ? melihat betapa dinginkan Leo tak mungkin rasanya dia punya anak seperti Vero. Sementara Kara juga sosok yang kalem.

Menunggu Vero selesai mandi, Kara menyiapkan pakaian dan buku-buku yang sudah dijelaskan oleh Mbak Sari tadi. untuk pertama kalinya, bisiknya. Dan semoga hal ini berjalan selamanya. Dia tak apa-apa jika harus menyiapkan pakaian dan kebutuhan Vero maupun Varo setiap harinya sampai anak-anaknya dewasa dan punya pengganti dirinya. dia juga tak apa-apa jika harus menyetrika pakaian mereka dengan tangannya sendiri. Kara tahu dia akan melakukan apa saja untuk menggantikan waktu yang hilang diantara mereka. waktu dimana seorang anak benar-benar butuh ibu mereka.

***

"Vero, jangan lari. Nanti jatuh", teriak Kara khawatir dengan anaknya yang berlarian saat turun ke lantai dasar. Kaki kecilnya Nampak terlatih melewati tiap anak tangga sementara Kara sudah cemas setengah mati. Buru-buru dia mengikuti langkah Vero sambil menenteng tas berbentuk mobil milik Vero. Tepat dibeberapa tingkat anak tangga terakhir, Vero menghentikan langkahnya. Kara tahu kenapa anaknya itu menghentikan langkahnya. Leo.

"morning, Papa", Vero menyapa, jelas terlihat anak kecil itu terintimidasi sosok sang ayah yang gagah di depannya.  Katakan sajalah Vero menghormati sang Papa. Walaupun semua tahu kenyataannya Vero takut pada ayahnya. Titik.

"cepat sarapan", Leo menyahut tanpa perlu menyapa anaknya kembali, tidak ada sikap selayaknya seorang ayah seperti menggendong anaknya kearah meja makan sambil bercanda.

Vero berjalan tertunduk. Dan Kara juga mengkuti langkah kecil sang anak. Tidak nyaman berada dalam satu ruang yang sama apalagi hanya berdua bersama Leo.

"ikut saya", Langkah kaki Kara terhenti. Tahu Leo sedang berbicara padanya.

"baik, Tuan", Kara menggigit bibir bawahnya setelah itu. Tuan, ya Tuan. Batinnya lirih. Betapa besar perbedaan antara dia dan Leo meskipun mereka punya anak yang sama. Baik di dalam rumah ini, atau dimanapun, mereka terlalu berbeda. Yang menyedihkannya, dia juga berbeda dengan anak-anaknya.

Langkah Leo dan Kara berhenti saat memasuki ruang kerja laki-laki yang kini berumur 32 tahun itu. Leo duduk diatas sofa dengan seluruh aura kekuasaannya, sementara Kara berdiri dengan kepala tertunduk beberapa langkah dari Leo.

"Saya akan tegas jika kamu berani-berani berbicara hal-hal yang tidak seharusnya pada mereka. jika mereka sampai tahu siapa kamu, itu artinya kamu harus keluar dari rumah ini. Camkan hal itu baik-baik. Atau kalau kamu tidak sanggup, kamu bisa keluar dari rumah ini sekarang juga", Leo berhenti sejenak. Membaca gerik tubuh Kara. "Selebihnya kamu bisa bersama mereka sampai kapanpun kamu kamu. Saya juga akan menggaji kamu sebagaimana mestinya. Setiap bulannya Pak Hari akan memberikan kamu gaji. Dan jika suatu saat kamu menikah, otomatis kamu juga berhenti bekerja. Disini kamu bekerja 24 jam. Dan saya tidak mau, perhatian kamu sebagai pengasuh mereka terbagi-bagi. Jika kamu sudah tidak sanggup, saya akan mencari orang lain yang membutuhkan pekerjaan ini"

Kara tertunduk, sementara kedua tangannya mengepal penuh keyakinan. Jika itu syaratnya, dia akan menjadi pengasuh Varo dan Vero selamanya. Mungkin seperti Bik Mar mengasuh Leo.

"kamu mengerti ?" pertanyaan itu butuh jawaban, dan Kara cepat menjawab.

"Ya, Tuan"

"dan, Kara. Disini kamu bekerja untuk mereka. perlakukan sebagaimana mestinya. Mereka adalah majikanmu", kata itu penuh makna, tapi Kara sudah terlalu tahu apa yang coba dikatakan Leo. Laki-laki itu pasti mendengar bagaimana dia menyebutkan nama Vero tadi, dan itu tidak boleh.

Tapi apakah dia harus memanggil anak-anaknya seperti apa yang Leo inginkan. Dia, ibu mereka kan ? tapi bisik getir itu tak keluar dari bibirnya. Alih-alih dia hanya mengangguk. Tak berdaya. "Ya Tuan"

Only HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang