Leo hanya berdehem saat mendengar ketukan sebanyak dua kali di pintu ruang kerjanya. Langkah kaki seseorang tak membuat perhatian Leo teralih dari laporan yang sedang di periksanya. Leo yang dingin bukanlah orang yang akan mengalihkan perhatiannya pada hal-hal yang tidak penting. Hanya Varo dan Vero-lah yang bisa menarik perhatiannya walaupun interaksinya kaku sekali. Jangan bayangkan Leo adalah seorang ayah yang akan menemani anak-anaknya bermain mobil-mobilan, menyusun puzzle atau hal lain yang menurutnya terlalu remeh temeh. Mungkin sesekali dia menemani anak-anak di ruang bermain mereka, tapi selalu ada buku yang menemaninya sehingga akhirnya akan terpusat pada bacaannya. Belum lagi dengan banyaknya kesibukan sejak kembali ke Indonesia 2 minggu yang lalu. Quality time antar dia dan anaknya hanyalah waktu dia menyusul Sahara dan anak-anaknya berbelanja yang membuatnya bertemu dengan Kara. Mantan istrinya sekaligus Ibu yang tidak di kenal oleh Varo maupun Vero.
Kara, Leo teringat akan gadis berambut panjang seindah bintang iklan shampoo, dengan warna kulit yang biasanya muncul di tv sebagai model iklan body lotion. Hah, Leo lupa. Kara bukanlah seorang gadis lagi.
“Tuan”, sebuah suara menyadarkan Leo dari lamunannya dengan mata yang masih menatap berkas di tangannya. Leo beralih pandang dengan tenang, bersikap seolah ‘tangan kanannya’ tak memergokinya sedang melamun.
Pak Hari pun Nampak biasa-biasa saja, seolah dia tadi tidak sedang mengintrupsi lamunan Tuan yang dia layani sejak Tuannya berumur 17 tahun. Sekalipun ingin tahu apa yang sedang Tuannya lamunkan, Pak Hari sadar itu bukan urusannya.
“saya sudah menemui Nyonya”, Pak Hari melapor, ‘dan Nyonya hidup dalam keadaan yang sangat menyedihkan, jauh lebih menyedihkan dari dulu’, Pak Hari menyambung dalam hati. Teringat akan kediaman wanita yang dia sebut dengan Nyonya yang sangat tidak layak, yang sangat tidak cocok untuk seseorang yang pernah menyandang gelar Nyonya Leo Pradipta yang kaya raya.
“Nyonya menitipkan ini untuk anda”, Pak Hari menyodorkan map yang tadi dibawanya. Sementara Leo hanya diam saja menatap map yang tadi diberikan oleh Pak Hari yang katanya dari Kara.
“ada lagi yang harus saya lakukan, Tuan ?”, Pak Hari kembali bertanya karena Leo hanya diam saja, khas Tuannya.
“sudah itu saja”
“baiklah kalau begitu saya pamit pulang, Tuan”
Leo tak menyahut. Setelah Pak Hari keluar dari ruang kerjanya, Leo langsung mengabaikan berkas yang harus di periksanya dan membuka map yang Kara titipkan pada Pak Hari untuknya.
Rahang Leo mengeras. Menatap pada surat-surat kepemilikan juga rekening yang semuanya atas nama Kara. Yang dulu diberikan olehnya sebagai kompensasi perceraian mereka. Leo sadar kenapa Kara mengembalikan pemberiannya ini, menandakan bahwa Kara tidak menginginkannya. Saat membuka buku rekening untuk mengecek apakah ada transaksi yang di print dalam buku itu, Leo tidak menemukan apapun. Masih nominal uang yang dulu diberikan oleh Leo untuk pertama kali, yang seharusnya sekarang sudah berubah nominalnya. Tapi tiadanya bukti transaksi di buku ini membuat Leo menarik kesimpulan bahwa Kara tidak pernah menyentuh buku ini sama sekali sehingga tidak ada transaksi apapun yang tercatat, termasuk jumlah nominal yang setiap bulan selalu dikirimkan oleh anak buah Leo. Kara pasti sama sekali tidak menggunakan hak-hak yang diberikan oleh Leo dengan seharusnya sehingga dia harus hidup dan bekerja disebuah supermarket dengan pekerjaan yang menurut Leo sangat memalukan. Melayani orang lain !
Tapi kemudian Leo langsung mendengus sinis, saat dia tidak menemukan surat-surat kepemilikan kendaraan yang diberikan. Tanda kesimpulannya salah. Setidaknya Kara yang terlihat angkuh mengembalikan pemberiannya tapi masih menyisakan satu yang punya nilai yang cukup besar untuknya, darah memang tidak pernah menipu, sinis Leo.
Leo memasukkan surat-surat itu kedalam map kembali saat dia menemukan sebuah kertas yang dilipat yang langsung menarik perhatiannya. Saat dia membuka lipatan itu, dan melihat tulisan tangan yang cukup rapi di atas kertas itu, Leo langsung membacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only Hope
RomanceKara menangis sesenggukan. Tahu bahwa dia takkan pernah bertemu dengan anak-anaknya. Tahu dia takkan pernah melihat mereka. Tahu bahwa dia tidak bisa memberikan ASI setidaknya untuk satu kali saja. Dia tidak tahu wajah anak-anaknya, juga nama mereka...