1. Antara Penyesalan dan Rindu

300 37 3
                                    

Kaki lincah menjejak tanah basah akibat hujan semalam. Kaki ramping dan lincah itu menerbangkan air dalam kubangan yang tak meresap dengan sempurna ke tanah yang sudah gemuk. Cakar depan dan belakang mencengkeram kuat hingga tubuh besarnya tak tergelincir oleh tanah licin.

Hidung hitamnya bergerak-gerak mengendus aroma tanah basah, aroma menyegarkan yang ia hidu--hirup--membawa nostalgia beberapa tahun silam saat ia bermain dengan anak manusia yang tersesat di tengah belantara.

Bulu halus melambai bagai terbang saat angin dengan ringan meniupnya, warna putihnya berkilau di bawah cahaya matahari pagi. Serigala putih itu berdiri di tepi tebing, memandang lebatnya hutan tempat ia tinggal.

"Kau di sini lagi, Xiao Zhan?" Lelaki berambut ikal sebahu mendatangi serigala putih yang masih duduk di ujung tebing.

Serigala yang dipanggil Xiao Zhan masih bergeming menatap kampung halamannya yang tersembunyi oleh lebatnya kanopi daun yang lebat hingga sulit untuk ditemukan pemburu.

"Apa kau masih memikirkan anak yang sepuluh tahun lalu kau paksa keluar dari desa?" Lagi-lagi lelaki beruban itu bicara pada serigala yang tampak kesepian di depannya.

Kali ini berbeda, serigala itu menoleh pada lelaki tua di belakangnya dengan tatapan tajam. Ia diam, mengamati perubahan sikap si lelaki tua.

"Apa boleh buat. Saat itu kalau kau tak memaksanya keluar dari hutan, ia akan ikut terseret dalam pertikaian antar suku untuk memperebutkan wilayah." Lelaki tua itu menghela napasnya dengan lelah mengingat pertempuran yang merenggut nyawa anggota kawanannya termasuk adik serta iparnya hingga Xiao Zhan harus hidup sebagai yatim piatu.

Serigala putih berdiri dan melangkah perlahan, langkah demi langkah saat tubuhnya berangsur berubah. Sosok binatang liar itu berubah menjadi pemuda dengan paras rupawan. "Aku sangsi bahwa anak itu bisa bertahan hidup di tengah kekacauan itu, Paman. Saat itu Sam mengejar kami hingga ... hingga aku terpaksa mendorongnya ke tebing pinggir hutan." Xiao Zhan berdiri menghadapi paman yang merawatnya sejak orang tuanya tiada.

"Itu bukan salahmu, Zhan. Kau melakukan itu karena untuk menolongnya." Lelaki yang Xiao Zhan panggil paman itu menepuk bahu yang lebih muda.

"Aku tak akan terbebas dari dosa ini sebelum memastikan anak itu baik-baik saja, Paman." Dosa yang Xiao Zhan katakan adalah rasa bersalah karena telah mendesak jatuh anak tak berdosa ke jurang yang terjal, keajaiban bila nyawa itu selamat.

Embusan angin meniup sisa tetesan air hujan yang terperangkap oleh daun-daun yang menengadah, membawa kelembaban menyebar bersama bisikan alam. Xiao Zhan termenung menikmati nyanyian angin yang berdesir, menggelitik telinganya. Ia teringat kembali pada anak kecil yang menangis memanggil-manggil namanya dengan wajah pasi saat tubuh kecil itu jatuh, tertarik gravitasi ke dasar jurang. Jantung Xiao Zhan kembali berdenyut nyeri bila mengingat kejadian itu.

***

Seikat bunga bakung putih dalam vas menghiasi dua pusara yang bersanding. Seorang pemuda menatap kedua pusara yang berhadapan dengannya, mata pemuda malang itu menatap rindu pada keduanya. Ia terpisah oleh batas hidup dan mati dengan kedua orang tuanya sejak tiga tahun lalu. Kesepian karena hidup sebatang kara telah menggerogoti pemuda itu hari demi hari.

"Ayah, Ibu ... maaf baru sempat menemui kalian lagi. Kehidupan ini berat untuk kujalani sendirian." Mata lelah pemuda itu semakin redup, ia ingin sekali menyerah. "Kapan aku boleh menemui kalian? Aku sangat merindukan kalian." Ujung rambutnya menjuntai menyentuh bahu, mulai kusut karena tak terurus.

"Ah, aku tau ... kalian pasti melarangku menyusul kalian ke surga. Aku akan menemukan penyelamat hidupku. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, aku masih mengingatnya dengan jelas saat ia berusaha menyembunyikanku dari para penjahat biadab itu. Aku sudah bersumpah pada kalian untuk menemukannya." Wajah datar pemuda itu terlihat pucat dengan senyum malas yang ditarik oleh bibirnya.

I CLAIM THE WOLF TO BE MINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang