BAYI GERANDONG

5.6K 185 8
                                    

Beno terbangun dari tidurnya sekitar jam 8 pagi karena mendengar suara-suara seperti orang menyanyi rame-rame ( macam lagu holobis kuntul baris tapi dengan bahasa yang tidak ia mengerti)

Beno segera membangunkan Heri dan Sugi, lalu mereka mencari hp dan tas ransel mereka, bermaksud cepat-cepat pergi dari desa itu.

Tok, tok, tok!

Surti ada di depan pintu kamar mengenakan kebaya lurik coklat.

"Ayo anak-anak kalian sarapan dan ngopi dulu, trus ikut ke rumah kangmas Jamin.
Oh ya, kalian pake kain ini ya? Soalnya lagi ada upacara lahiran bayi hari ini, jadi kalian harus pake kain putih ini."

Surti meletakkan 3 lipatan kain putih katun disitu.

"Nah kalian segera pake kainnya trus saya tunggu di warung untuk sarapan."

Beno, Heri dan Sugi segera melilitkan kain putih itu di pinggang mereka ditambah ikat pinggang kain hitam, dan bertelanjang dada.

Di warung telah disediakan 3 cangkir kopi hitam yang aromanya wangi sekali, plus tiga piring nasi lauk bakso.

Mereka makan dengan lahap dan meminum kopi hitam itu.

Di depan warung bakso mbak Surti kini lewat arak-arakan penduduk desa membawa berbagai sesaji seperti kemenyan, kue-kue tradisional, buah dan bunga warna-warni.
Mereka semua mengenakan pakaian Jawa lurik coklat. Diiringi suara beberapa gamelan dan tembang jawa.

"Nah sekarang kalian bertiga ikut berbaris di situ, itu di belakang mas Jiman, nanti selesai upacara biar kalian langsung di antar ke Cemoro Sewu.
Seorang laki-laki berbadan besar melambaikan tangan ke arah Beno dan kawan-kawan. Itulah mas Jiman. Lalu ketiga pemuda itu berbaris di belakang pria itu, mengikuti iring-iringan upacara yang menuju ke Rumah Biak, semacam bangunan rumah kayu besar yang menjadi pusat kegiatan penduduk desa Arum Dalu.

Di tengah iring-iringan itu Beno mencium aroma kentang bakar yang sangat kuat, namun Beno diam saja karena takut ditegur bila berbicara. Kepalanya juga agak pusing setelah meminum kopi hitam tadi.
Saat melihat ke arah Sugi dan Heri yang berjalan di depan Beno malah terlihat kedua remaja itu jalannya seperti sempoyongan mau roboh.

Beberapa menit kemudian tibalah mereka di rumah biak. Sebuah bangunan kayu besar dengan gapura batu di depannya.

Di dalam rumah itu berlantai plester semen.
Di sisi depan terdapat arca batu setinggi tiga meter nampak seperti patung raksasa dengan empat taring mencuat dari mulutnya. Dan di depan arca itu terdapat meja altar batu sangat besar, di atas altar itu terbaring tiga bayi dibungkus kaim hijau lumut.
Para penduduk desa menaruh semua sesaji di sekeliling tiga bayi itu, lalu mereka duduk bersila mengambil posisi melingkar.

Beno, Heri dan Sugi yang merasa pusing dan pandangan berkunang-kunang malah disuruh duduk di tengah ruangan.
Asap kemenyan dan dupa memenuhi seluruh ruangan membuat pandangan Beno dan kawan-kawan makin kabur.

Surti berdiri di depan mereka sambil menggendong salah satu bayi.

"Ooeekk... Ooeeekk...."

Bayi-bayi itu menangis seperti minta disusui.

"Jangan nangis sayang. Sebentar lagi kalian bisa makan sampe kenyang. Ibu sudah dapat makanan buat kalian."

Lalu Surti berbicara pada Beno, Heri dan Sugi.

"Nah kalian sekarang tahu kenapa kalian dibawa ke desa ini.
Sudah menjadi tugas kalian untuk menyusui bayi-bayi ini!"

Nada suara Surti tidak lembut lagi, tapi seperti bernada mengancam.

TERSESAT DI GUNUNG LAWU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang