Pagi minggu, aku bangun lebih awal. Ya biasalah. Habis shalat subuh, aku berniat akan pergi joging ke taman kompleks. Karena di sana biasanya banyak orang-orang yang juga joging.
Bukan hanya karena tempatnya yang nyaman buat joging, di sana juga banyak makanan yang membuat aku ingin ke sana setiap pagi minggu.
Kenapa cuma pagi minggu? Ya karena kalo hari biasa, kan aku sekolah.
Aku pamit pada bunda yang tengah menyuci piring di dapur, dan mengambil sepatu kets ku di rak sepatu.
Saat aku mengikat tali sepatuku di teras rumah, aku melihat Abran yang juga sepertinya akan pergi joging.
"Kirain nggak mau joging. Yuk barengan!" ajak Abran yang melihatku ada di teras.
Setelah mengikat tali sepatu, aku pun menghampirinya di depan rumah.
Penampilannya pagi ini benar-benar membuatku pangling. Hanya menggunakan celana selutut yang biasa dipakainya untuk joging dan atasan kaos hitam yang tertutupi oleh jaketnya membuat Abran sangat tampan pagi ini.
Abran melambaikan tangannya di depan wajahku, karena dia melihatku sedang melamun menatapnya.
"Gue tau, gue itu ganteng. Tapi nggak gitu juga natap gue nya. Jadi ngeri gue kalau lo malah mikir aneh-aneh" celetuknya.
"Apaan sih" kataku, lalu mengalihkan pandanganku seraya melakukan pemanasan terlebih dahulu seperti yang di lakukan Abran tadi.
Setelah kami rasa pemanasan yang kami lakukan sudah cukup. Kami pun melangkah menuju taman kompleks yang sudah ramai oleh orang-orang perumahan tersebut maupun orang-orang dari luar perumahan yang juga joging di sana.
Setelah 5 putaran, aku memilih untuk istirahat saja di salah satu bangku taman yang kosong. Sedangkan Abran, dia masih mengelilingi taman yang entah sudah berapa kali.
Aku meluruskan kakiku di atas bangku itu dan meregangkan pinggangku.
Dari tempat duduk, aku melihat Abran yang masih berlari. Earphone yang menempel di telinga serta tudung jaket yang ia gunakan untuk menutup kepalanya itu membuat Aku terpesona untuk kesekian kalinya.
Beruntungnya aku bisa jadi pacarnya Abran. Tapi lebih beruntung lagi kalau aku yang bakal jadi pendamping hidupnya nanti. Ah, pikiranku sudah ke mana-mana saja.
Aku sesekali menyeka keringat yang mengalir di pelipisku.
Aku terperanjat saat rasa dingin menyengat di pipiku. Aku mendongak untuk melihat siapa pelakunya, dan ternyata itu Abran. Dia memberikan aku air dingin.
Abran menurunkan kakiku dari bangku, dan dia pun duduk di sebelahku seraya meneguk air miliknya sendiri.
Melihat jakunnya yang naik turun membuat aku lagi-lagi terpaku.
Aku tak sadar kalau Abran juga sedang menatapku. Malah sekarang dia meraup wajahku dengan kelima jarinya, dan membuat aku kembali ke alam sadar.
"Biasa aja lihatin gue. Jadi merasa ganteng banget gue dilihatin mulu dari tadi" katanya pede.
Aku mendengus, mendengarnya memuji dirinya sendiri membuatku bergidik ngeri. Emang sih dia tampan. Tapi kalau denger dia muji dirinya sendiri itu loh, ngebuat aku geli sendiri.
"Ya ya ya. Serah lo deh" kataku akhirnya. Aku pun membuka tutup botol air mineral yang diberikannya tadi.
Karena aku tak bisa membukanya tutup botol itu, dia pun langsung ngambil alih botol itu dari tanganku dan membukakannya untukku.
"Makasih" kataku sekilas.
Dia berdehem, lalu mengambil ponselnya yang dia simpan di saku jaketnya. Dia melepas earphone yang dipakainya tadi dan menyimpannya di saku jaket.
"Jalan yuk!" ajaknya.
Aku kaget dong, tidak biasanya dia ngajak jalan. Kan biasanya kalau weekday atau pun weekend dia bakal sibuk sama urusan Osis terus.
"Nggak salah tuh?" tanyaku tersenyum miring.
Dia menggeleng, "Kita kan udah jarang banget tuh jalan. Jadi, mumpung urusan gue lagi nggak sibuk-sibuk amat. Gue mau ngajak lo jalan."
Aku hanya berdehem saja. Takutnya nanti kalau aku 'iya-in' langsung, eh malah nggak jadi. Jadi biar nggak kelihatan banget kalo seneng dia ngajak jalan gitu. Pura-pura cuek aja sih.
"Oke, jam 9 gue jemput ke rumah lo" katanya lalu berdiri dari duduknya.
Aku heran, kenapa dia berdiri. Padahalkan baru duduk.
Akhirnya aku tanya, "Ngapa berdiri?"
"Ya mau pulanglah, kan mau jalan" jawabnya. "Udah jam 8 juga. Yuk!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku. Aku pun langsung meraih tangannya.
Dia menautkan jemari kami. Selama perjalanan, dia tak melepaskan tangannya yang menggenggam tangan mungilku.
Sesampainya kami di depan rumahku, dia tidak langsung pulang. Dia malah tidak melepaskan tanganku.
"Lepasin ih, katanya mau pergi. Gue belum bersih-bersih nih. Bau keringat juga" kataku mencoba melepaskan tanganku dari genggamannya.
"Nggak bisa lepas nih" katanya mengangkat genggaman tangannya pada tanganku ke udara.
"Ya nggak bisa lepaslah. Kalo lo genggam tangan gue erat banget" kataku kesal.
Setelah lama adu mulut sama Abran. Akhirnya, dia melepaskan juga tanganku. Aku pun segera masuk ke rumah untuk bersiap pergi nanti.
***
Seperti yang dikatakan Abran tadi pagi. Kami pun pergi jalan berdua.
Setelah menonton di bioskop tadi, dia ngajak makan. Katanya dia laper, di tambah lagi di studio tadi AC-nya kenceng banget. Ngebuat perut dia keroncongan.
"Makasih" kataku pada pelayan yang mengantarkan pesanan kami.
Kami pun menikmati makanan yang kami pesan tadi, dan sesekali bercerita.
Tapi tiba-tiba suara seorang perempuan mengusik ketenangan kami. Eh, lebih tepatnya ketenanganku.
Karena bagiku, perempuan yang menghampiri kami ini benar-benar pengacau suasana dimana pun kami berada. Entah itu di sekolah, atau di luar seperti sekarang.
Aku mendongak menatap malas ke arah perempuan itu, yang ternyata hanya melihat ke arah Abran saja. Di sampingnya ada 2 orang lagi. Satu laki-laki dan 1 perempuan. Yang laki-laki itu, sepertinya laki-laki yang aku tabrak saat akan menghampiri Abran waktu itu. Sepertinya mereka ini siswa kelas XII, temannya Abran.
"Boleh gabung?" tanya perempuan itu pada Abran.
Dengan senang hati Abran mengizinkan mereka untuk bergabung dengan kami.
"Boleh kok Sil, duduk aja. Duduk Sal, Mah" kata Abran mempersilahkan mereka duduk.
Akhirnya, sekarang aku hanya menjadi kambing congek yang mendengarkan mereka membahas tentang urusan Osis.
Aku mendengus, lalu memilih untuk memainkan ponselku saja.
"Kenapa tuh muka?" tanya Faisal yang kebetulan duduk di dekatku.
Ya, meja yang kami duduki berbentuk bundar, dan tempat yang kami duduki ini melingkari meja bundar itu. Di sebelah kananku ada Abran dan di sebelah kiriku ada Faisal. Tapi, yang membuat aku kesal itu karena si Sesil perempuan yang memandangi Abran serta mengajaknya bicara terus tadi berada di sebelah Abran, dan membuat Abran tidak fokus padaku. Melainkan pada perempuan itu.
"Nggak apa-apa" jawabku cuek. Dia hanya mengendikkan bahunya, tak ingin ikut campur dan merusak mood-ku, mungkin.
🔜
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] My Boyfriend's Student Council President
Fiksi RemajaFollow dulu sebelum baca ^.^ Menjadi pacar seorang Abran Putra Adhitama si ketua osis ganteng, bukanlah hal yang menyenangkan bagi Aluna Putri Wijaya. Semenjak pacarnya itu menjadi Ketua Osis, Aluna merasa waktu Abran untuknya itu mulai berkurang...