4

3 4 0
                                    

"Kenapa muka lo cemberut gitu?" tanya Abran saat kami berada di parkiran dan akan pulang.

"Nggak apa-apa" kataku cuek. Aku mengambil helm yang disodorkan Abran padaku, lalu memakainya.

Abran yang melihat aku kesusahan memakai helm pun mendekat, dan membantuku untuk memakainya.

"Kalo butuh bantuan itu, ngomong. Jangan diam aja" katanya, lalu memukul pelan helm yang ku pakai.

"Bodo" kataku pelan. Eh, tapi dia denger loh. Sampe dia mendelik padaku.

Aku yang sudah duduk anteng di boncengannya bingung, kenapa dia belum jalan juga.

Aku tepuk deh punggungnya, minta dia supaya jalani motornya. Karena aku kepengen cepat pulang, dan rebahan di atas kasur tercinta.

"Lo nggak pegangan. Jadi motornya nggak mau jalan" alibinya. Aku tahu pasti dia peka kalau mood aku sedang tidak baik.

"Alah, akal-akalan lo doang. Tau gue. Bukannya gue kenal lo baru kemaren ya Bran." kataku memukul punggungnya pelan.

Aku terkejut dan hampir terjungkal, karena dia tiba-tiba menarik kedua tanganku dan melingkarkan di pinggangnya.

Kebiasaan. Aku mencubit pinggangnya.

"Sakit bego" umpatnya.

Setelah dia memastikan aku aman di belakang, dia pun mulai menghidupkan motor dan menjalankannya meninggalkan parkiran mall.

Abran menggenggam sebelah tanganku dan memasukkannya di saku jaket levis yang dipakainya. Sesekali kami bercerita di atas motor.

Moment-moment seperti ini yang aku rindukan. Setelah hampir dua minggu kami jarang menghabiskan waktu berdua, dan akhirnya sekarang terwujud juga.

"Habis ini, lo mau lanjut kuliah di mana?" tanyaku saat kami mampir di taman perumahan untuk sekedar nongkrong sebentar sebelum pulang.

"Rencana sih mau di dekat-dekat sini aja" jawabnya sambil membuka jaket yang di pakainya tadi, lalu menyampirkannya  di lengan bangku yang kami duduki.

Aku menatapnya dalam. Rasanya ada sesuatu yang ingin aku ungkapkan padanya. Tapi aku merasa sulit untuk mengeluarkannya.

Abran yang mengerti kalau ada yang ingin aku katakan padanya pun mencoba untuk membantuku mengeluarkannya.

Dia mengelus puncak kepalaku, dan menatapku dalam. "Keluarin apa yang mau lo omongin ke gue. Dari tadi gue lihat, ada sesuatu yang pengen lo sampein ke gue" katanya padaku.

Sebelum mengeluarkan unek-unekku, aku menarik napas terlebih dahulu lalu membuangnya pelan.

"Lo peka banget sih" kataku sekedar basa-basi terlebih dulu.

"Karena gue tau dari gerak-gerik lo, dari tatapan mata lo ke gue. Gue tau, lo lagi nyimpan sesuatu dan lo pengen ungkapin ke gue. Tapi gue rasa lo masih ragu buat ngungkapinnya. Sekarang gue pengen lo keluarin apa yang lo simpen selama ini. Gue pengen denger keluh kesah lo. Karena sudah hampir 2 minggu ini, gue rasa gue nggak bisa dengerin keluh kesah lo" katanya masih dengan mengelus puncak kepalaku.

Lagi-lagi aku menghela napas, aku menunduk mencoba menetralkan degup jantungku yang berdebar tidak seperti biasanya.

Dia mengelus punggung tanganku, dan membuat aku mendongak menatapnya. Dari tatapan matanya, dapat ku lihat dia tengah menunggu sesuatu yang akan keluar dari mulutku ini.

"Gue cemburu, Bran. Gue iri, gue kesel sama lo. Setiap kali gue pengen deket lo, pengen ngajak lo jalan, lo selalu sibuk sama urusan Osis. Di tambah lagi, cewek tadi. Gue tau, setiap kali kalian rapat dia selalu ngedeketin lo. Gue memang nggak ada di sana. Tapi gue tau itu semua." kataku akhirnya bisa mengeluarkan unek yang sudah aku sejak kemarin.

Abran menghela napasnya. Ia menarik tanganku untuk di genggamnya. "Gue minta maaf, Lun" katanya tulus. "Lo tau kan kalo gue ini ketua Osis. Gue nggak bisa lepas tangan aja sama apa pun yang berurusan dengan kegiatan sekolah. Tapi, kalo untuk deket-deket Sesil. Gue nggak ada tuh rasa sama dia. Gue sama dia deket, ya karena dia sekretaris gue. Sekretaris Osis. Dan dia juga ya apa-apa nanya gue, karena yang tau detailnya kegiatan itu gue. Menurut gue kalo lo cemburu, itu wajar aja sih. Itu tandanya lo cinta sama gue. Tapi, gue kan pernah bilang ke lo, kalo gue cuma cintanya sama lo. Gue kalo udah cinta sama satu cewek, gue nggak bakal lirik sana-sini. Hati gue cuma buat lo. Udah itu aja. Nggak ada niatan buat selingkuh atau apalah itu" katanya menjelaskan.

Aku sedikit terharu mendengarnya. Dia menatapku, lalu mengelus pipiku juga.

"Beneran, kan?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk mantap.

Mataku berkaca-kaca melihat tatapan tulusnya padaku.

"Udah ah, jangan nangis. Ntar jelek" ejeknya membuatku kesal. Aku pun memukul pahanya, dan membuat dia meringis. Karena tamparanku di pahanya memang sedikit keras, karena kebawa kesal.

Dia malah ketawa dong, dan itu buat aku tambah kesal.

"Udah ah, gue mau pulang" kataku beranjak dari duduk.

Dia masih tertawa, tapi tak urung dia pun mengikutiku dari belakang menuju tempat motornya terparkir.

***

"Udah selesai?" tanya Abran padaku mengenai tugas yang sedang aku kerjakan. Apalagi, kalau bukan PR ku yang ku minta dia mengajarinya.

Aku menggeleng lesu. Pasalnya aku benar-benar tidak mengerti dengan mata pelajaran Kimia ini. Lebih baik aku mengerjakan PR Fisika dari pada Kimia. Karena bagiku, menghafal senyawa-senyawa kimia bukanlah hal yang mudah.

Dia menarik buku tulisku, dan memeriksanya. "Mana yang nggak lo ngerti?"

Aku menunjuk soal nomor 3 yang ada di buku. "Susah banget, gue nggak paham. Rasanya gue pengen tidur aja dah" kataku pasrah lalu merebahkan diriku di sofa ruang tamu.

Dia yang melihatku sudah rebahan di sofa pun segera menyentil keningku. Hobi sekali dia menyentil keningku. Emang dia nggak tahu apa, kalau sentilannya itu sakit pake banget lagi.

"Gue nggak ngerti, Bran" kataku lagi dengan mata jengah menatap buku tulisku.

"Sini turun" dia menarikku untuk duduk di bawah, atau lebih tepatnya duduk di sampingnya untuk mendengarkan penjelasannya.

Btw, pacar aku nih anak IPA juga loh. Dia pinter di bidang apa aja, apa lagi yang berbau hitung-hitungan gitu. Dia jagonya. Dia juga salah satu siswa yang dikenal guru, karena pernah menang di salah satu Olimpiade yang diadakan oleh salah satu Universitas yang ada di kotaku ini.

Dia pun menjelaskan bagaimana cara mencari jawaban untuk soal nomor 3 itu. Dan aku terkesima melihat kelihaiannya dalam mencoret angka-angka itu di atas kertas putih yang aku sodorkan padanya untuk menjadi kertas buram tempatku mencari jawaban.

"Paham?" tanyanya, tapi aku malah menggeleng lagi. Jujur saja, aku benar-benar bebal dengan mata pelajaran ini. Palingan aku hanya bisa menjawab soal yang hanya menanyakan sebuah konsep atau pengertian-pengertian saja. Selebihnya aku angkat tangan.

Ku lihat dia menghela napasnya. Dia pun pasrah. Digesernya laptop yang ada di hadapannya dan menarik bukuku yang berisi soal-soal kimia.

Dia memindai soal dari bukuku terus ke kertas coretan.

15 menit dia berkutik dengan soal-soal kimia tadi, setelahnya dia menyodorkan kertas cariannya padaku untukku tulis ulang di buku.

Setelah menulis jawabannya, tiba-tiba aku menguap. Ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat. Pantas saja aku menguap. Ternyata jam tidurku sudah lewat.

"Gue pulang ya, lo langsung istirahat. Jangan streaming lagi" pesannya, lalu menutup laptopnya.

Aku pun mengantarnya sampai ke gerbang, sekalian untuk menguncinya.











🔜

[4] My Boyfriend's Student Council PresidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang