Prolog

10.7K 806 20
                                    

SANDYA POV

Beberapa menit sebelumnya.

Hari ini aku sangat bahagia. Selain karena hari ini adalah hari kelulusan SMAku, aku juga akan segera meninggalkan kota yang sudah aku tinggali selama 17 tahun lamanya. Kata ayah, setelah lulus SMA aku akan tinggal bersama Tante Suci dan Kayla di kota Bogor.

Mungkin hanya aku gadis yang senang bila berpisah dengan ayah dan ibuku. Tetapi, jujur aku selalu merasa sedih jika ayah terus membandingkan aku dengan adikku, Satya. Kami memang sangat berbeda. Aku yang introvert, dan Satya yang ekstrovert.

"San, ngelamunin apa hayo?" tanya Niken, sahabatku.

"Enggak kok, Ken. Aku cuma seneng aja mau pindah ke Bogor lusa," jawabku sambil mengembangkan senyum.

"Kamu sih seneng, aku yang sedih ditinggal kamu!" Niken cemberut, aku lihat matanya berkaca-kaca.

"Eh, aku juga bakalan kangen sama kamu, Ken. Nanti nggak ada lagi yang beliin aku makanan, yang nyontek pr aku. Cuma kamu doang yang mau sahabatan sama aku."

Astaga, sekarang aku justru ingin menangis.

"Lebay banget, sih, San. Kita bakal lulus ya jelas pisahan dong," sela Yossi, teman sekelasku yang hobi menggosip.

"Lagian kamu 'kan punya kontaknya Niken, bisa buat komunikasi," lanjutnya.

"Kamu itu, Yos! Bukannya kemarin nangis-nangis karena nggak mau pisah sekolah sama Pandu, ya?" Niken menyela dengan wajah kesalnya.

"Hust! Nggak usah dibahas deh, Ken. Lagipula siapa yang nggak sedih bakal pisah sama orang ganteng macam dia." Yossi mendengus.

Gadis dengan mulut lemes itu memang sudah menyukai Pandu sejak lama. Pandu itu ganteng, anak band pula. Memang pantas disukai oleh semua orang. Dulu, aku juga sempat kagum padanya. Cara Pandu menyanyi memang sangat keren.

"Omong-omong dia mau kuliah di mana, sih? Kok kamu sampe sedih banget gitu," tanya Niken pada Yossi.

"Nah, Itu dia masalahnya. Aku nggak tahu dia mau kuliah di mana. Tanya Mbak Saras, katanya nggak tahu juga."

Aku dan Niken hanya membulatkan bibir. Kasihan Yossi. Efek dulu sempat kagum, aku juga jadi tahu kalau Pandu itu banyak yang suka. Bahkan adik kelas yang tinggal di dekat komplek rumahku terus memintaku memberikan nomor ponselnya. Dengan dalih aku seangkatan dengan cowok tampan itu. Padahal boro-boro nomor, bicara saja nggak pernah. Kami tidak pernah sekelas.

"Ya udah, Yos. Cari yang lain aja." usul Niken, seraya mengusap bahu Yossi.

"Nggak semudah itu ya, Ken. Dia itu kelewat ganteng kalo lagi nyanyi, mana bisa move on segampang itu," ujar Yossi.

"Iya juga, sih. Pasti Pandu bakal jadi penyanyi terkenal, deh. Sekarang aja udah tenar banget sesekolahan."

Terkadang, omongan Niken bisa jadi kenyataan. Dulu sahabatku itu juga pernah bilang kalau aku akan rangking 4 dikelas. Dan ternyata benar. Kuakui instingnya itu tajam.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Membuat aku tersentak.

"San, dipanggil Pandu tuh. Dia di depan," kata Bagus, teman sekelasku juga.

Kalimat Bagus langsung membuat aku kaget. Orang yang sedang dibicarakan malah sedang menungguku di luar. Niken dan Yossi juga berkedip-kedip heran.

"Kamu bikin salah apa, San? Kok bisa sampe dipanggil Pandu?" tanya Yossi jengkel. Aku tahu dia sedang cemburu karena orang yang dia sukai malah memanggilku.

"Eh, perasaan, aku nggak ngapa-ngapain kok." Mendadak aku cemas. Bukan cuma vokalis band, Pandu juga menjabat sebagai anggota OSIS. Biasanya anak-anak yang bermasalah akan ditegur oleh cowok cool itu.

Tarik Suara (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang