5

1K 110 7
                                    

"Pak Janaka itu punya perusahaan herbal yang cukup di kenal di Jogjakarta, Mbak. Yah, walaupun produknya belum sampai ibukota. Karena produknya hanya di jual di daerah DIY dan sekitarnya aja," tutur Karen.

"Pak Janaka itu punya...

" Pak Janaka itu....

"Terus ya Mbak, Pak Janaka juga katanya pernah mau di jadiin mantu sama Pak Camat. Kebetulan anaknya Pak Camat jadi sekretaris nya Pak Janaka, eh tapi udah keduluan Mbak Janice."

Karen mondar-mandir dari dapur ke ruang depan untuk menata makan malam. Kebetulan tadi saat Janice datang, dia baru saja selesai masak. Bukan masakan mewah memang, akan tetapi Ia pikir Janice pasti akan menyukainya. Apalagi perempuan itu gemar sekali dengan Indonesian food yang penuh dengan sambal pedas.

Ayam penyet sudah tertata di lantai di mana mereka berdua memutuskan untuk duduk, lalapan seperti mentimun dan kol pun siap menjadi pelengkap. Karen terhenyak sedikit saat mendapati bibir Janice menyeringai, apa Janice sedang membayangkan betapa tasty-nya makan dengan ayam penyet? Atau majikannya itu mengalami gejala kejiwaan karena kehancuran karirinya, duh..apa sih Karenina! Pikiran lo jelek banget!

"Mbak!"

"Ish, lo jangan teriak di kuping dong!" ucap Janice saat lamunannya buyar. Matanya berbinar saat ayam penyet dengan sambal dan lalapan terhidang di depannya.

Dari sekian banyaknya perkataan Karen yang mendeskripsikan Janaka, Janice hanya tertarik dengan ucapan yang terakhir. Ia kembali menyungginggkan bibirnya seperti sedang merencanakan sesuatu.

"I have a brilliant idea!"

"Ren, gue nggak mau tahu lo harus bantu gue kali ini!" timpalnya sambil menyomot timun yang sudah di cocolkan dengan sambal.

Karen meletakkan ponselnya, Ia menghidu aroma teh sambil melongo ngeri melihat Janice yang kembali menyeringai seperti itu."Gue harus bantu apa, Mbak. Nanti gue dosa loh kalau bantu seseorang dalam kejahatan."

"Don't worry, nanti gue yang nanggung dosa lo!" kekehnya.

***
Janaka mengetikkan sesuatu di laptop berwarna silver, Ia sedang merampungkan pekerjaan yang sempat tertuda karena pertengkarannya dengan Janice. Ah, perempuan itu sampai sekarang masih belum ada rimbanya. Janaka khawatir jika Janice bertindak di luar nalar karena kekecewaannya, pikiran Janaka buyar.

Ia mengambil mug yang berisi wedang uwuh, sejenis minuman penghangat yang juga bisa di gunakan sebagai obat herbal. Wedang uwuh ini juga produk asli dari perusahaannya dan Ia bawa langsung dari Jogja. Sebenarnya banyak sekali produk-produk yang Ia bawa, rencananya sih Ia ingin memperkenalkannya kepada Janice. Tapi, sayang perempuan itu malah berusaha menjauh darinya setiap kali Ia ingin merangkulnya untuk menjalani pernikahan.

Dulu, Ia pernah membayangkan bagaimana ketika dewasa nanti Ia menikah, memiliki keluarga kecil yang lengkap dengan celetohan khas anak kecil.  Kini, bayangan dan impian itu serasa sulit di wujudkan. Ia beranjak, melangkahkan diri menuju ke ruang kamar yang berada terpisah dengan kamar si empunya apartemen.

Di dalam, Janaka berkaca. Ia tertawa melihat penampilan sesosok pria kurus nan jelek itu. Matanya menerawang hingga sebuah bisikan asing terdengar lamat-lamat. Dengungan yang terdengar seperti suara perempuan mengalun dari gendang telinganya, Ia terpaku.

"Hai pria tampan, tante boleh pegang nggak?"

"Manis banget sih, colek dikit boleh lah!"

"Ayo dong manis, jangan malu-malu gitu ah!"

Janaka terhenyak, bayangan itu datang lagi. Selama 10 tahun, bayangan itu menampakkan lagi. Tapi, kini seolah-olah terasa nyata karena suara itu. Ia menutup kedua tangannya berusaha menghalau suara itu agar tidak terdengar lagi, Ia membungkukan badannya.

"Kamu nggak usah bilang sama Ibu mu! Awas saja kalau kamu bilang, tante bakal hukum kamu!"

"Argggh! Pergi kau, sialan!"

Janaka berteriak, Ia melempari cermin dengan benda yang dapat Ia raih. Jika saja Janice di rumah mungkin akan memarahinya karena berhasil membuat ruangan yang tadinya rapi dan bersih menjadi kacau bak kapak pecah terkena badai.

Prang!! Cermin bertahtakan ukiran kayu itu retak menimbulkan pecahan tajam seolah perlahan mengiris hatinya. Ia berlari ke sudut kamar saat bayangan tubuh seorang perempuan mendekat ke arahnya. Perempuan bergaun merah menyala itu melambaikan tangannya seperti memanggilnya.

"Anak tampan...

" Anak manis, sini...

"Enyahlah kau perempuan jahanam!"

Napas Janaka semakin tersenggal, wajahnya sudah penuh dengan peluh keringat. Kepala nya terasa nyeri dan hormon adrenalin nya terpacu. Ia ketakutan, terpojok dan sendiri di sudut kamar. Gelap perlahan menguasainya menuju sebuah dunia ilusi di bawah alam sadarnya.

"Jan, t-tolong saya."

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang