8

963 100 3
                                    

"Ngapain sih pake acara pingsan! Kalau kayak gini kan gue yang repot!" keluh Janice. Di sampingnya ada Karen yang masih setia menemani Janice menunggui Janaka yang belum siuman, tante Meli yang tadi ikut bersama pun sudah pamit dulu karena ada acara.

"Mbak, lo nggak kasihan. Panggilin dokter aja ya? Kalau Pak Janaka ada apa-apa gimana?" usul Karen.

Hampir satu jam Janaka pingsan, tapi Janice belum menghubungi dokter atau tenaga medis untuk memeriksa kondisinya. Padahal Karen sudah mewanti-wanti dari tadi. Ini sih namanya tidak ber-pe-ri-ke-ma-nu-sia-an, Karen bersungut dari tadi saat Janice hanya mengomel saja.

"Nggak usah lah, Ren. Palingan dia belum makan pagi, tadi gue nggak masak soalnya."

Kini perempuan itu malah asyik memakan stik sayur sambil ongkang-ongkang kaki. Miris sekali, di sebelahnya sang suami terbujur tidak sadarkan diri.

"Mbak! Kalau lo nggak mau, biar gue aja nih yang panggil! Sori, gue masih punya jiwa kemanusiaan," tukas Karen.

Karen keluar dari kamar untuk menghubungi dokter meninggalkan Janice berdua dengan Janaka."Gue pamit nelpon dulu, nanti gue kesini lagi," ucap Karen.

Setelah pintu tertutup, Janice duduk di samping Janaka. Daritadi Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, akhir-akhir ini Janaka sering menampakkan perangai yang aneh, tadi kenapa mendadak pingsan saat melihat tante Meli. Janice yakin Janaka syok melihat tante tiri Karen itu, pasalnya Ia melihat sendiri bagaimana ekspresi Janaka saat netranya bersitatap dengan perempuan paruh baya itu. Tidak mungkin jika itu kebetulan atau apa yang tadi Ia katakan? Belum sarapan? Big no! Janice melihat sendiri pria itu memasak mie instan dan memakannya. Jadi alasan belum sarapan tidak benar, tadi Ia hanya membual pada Karen saja.

"Mbak?" Karen melongokkan kepalanya di antara daun pintu. Mulutnya tidak bersuara hanya dengan isyarat saja." Gue pamit pulang ya, udah gue telponin dokter."

Anggukan kepala sebagai balasan Janice, bertepatan dengan Karen menutup pintu sosok di sampingnya mengerang pelan.

Janaka sudah siuman, pria ber-boxer batik itu mengedipkan matanya guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke retinanya, lalu memanggil nama Janice pelan. Janice hanya diam, melihat pria itu lemah Janice hanya menyimpan gerutuannnya. Tak berani mengomel!

Tok! Tok!

"Permisi...

Gedoran pintu di depan membuat Janice melangkah pergi, Ia tak menjawab apalagi menyapa Janaka. Perempuan itu seperti diam seribu bahasa. Pikirannya memang sedang amburadul, mencoba mengaitkan peristiwa aneh dengan sesuatu yang menyerang Janaka.

" Pagi, Bu. Bisa Saya memeriksa pasien sekarang?" tanya pria paruh baya dengan snelli putihnya. Janice mengangguk dan mempersilahkan dokter masuk.

Setelah mengantar dokter ke kamar Janaka, Janice tidak keluar. Perempuan itu mematung, siapa tahu Janaka memang memiliki penyakit aneh. Bisa saja rencana Janice berjalan mulus kalau Janaka mengidap penyakit aneh. Tapi belum mendapatkan yang di inginkan, pria kutilang itu dengan beraninya menyuruh Janice keluar.

" Eh lo berani nyuruh-nyuruh ya! Emang siapa yang manggil dokter buat lo!" kesal Janice. Namun, Janice tidak melanjutkan mengomelnya saat dokter tersebut menatapnya. Dokter itu pasti tahu dirinya, habis sudah reputasinya jika dokter tadi melihatnya mengomel. Begitulah pikir Janice, melupakan kekepoannya dan memilih undur diri.

"Gue doain lo kena penyakit gila, Janaka!" ucap Janice begitu pintu tertutup rapat.

***

"Kenapa Bapak menyembunyikannya?"

Janaka menyadarkan tubuhnya di atas ranjang, Ia tersenyum sedikit. Namun, tak bisa membohongi perasaan kosong dan tertekan di rongga hatinya.

"Saya tidak mau dia semakin membenci pernikahan ini, Saya tidak mau dia tersiksa karena menikahi pria gila seperti Saya."

"Anda tidak gila, Pak! Anda hanya--

Janaka menginterupsi." Iya Saya tahu, jangan keras-keras Pak. Siapa tahu Janice masih di depan pintu. Oh iya, cukup sampai anda saja yang tahu tentang penyakit ini."

"Jadi, kemarin Bapak lupa mengkonsumsi obatnya? Padahal seharusnya anda tidak boleh sampai lupa," tanya dokter dengan name tag Prawiro Hadi.

"Kemarin setelah menikah saya buru-buru, ndak sempat bawa ke Jakarta. Tapi sekretaris saya sudah membawakan."

"Baiklah, ini saya kasih dulu sambil nunggu obat Bapak datang. Lalu, apa tadi Bapak teringat memori 'itu' lagi?"

Janaka mengehela napas," Saya melihat nya datang ke rumah ini, bercanda bersama Janice. Saya takut kalau dia akan---

"Anda punya Bu Janice, Pak. Masa lalu itu jangan di ingat terus lupakan saja dan mulailah menatap masa depan," tutur dokter Prawiro.

"Saya sedang mencoba, tapi saya takut. Takut kalau penyakit ini tidak hilang sampai saya mati nanti, saya tidak mau Janice semakin menderita karena ketidaksempurnaan saya."

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang