26

1K 111 1
                                    

Janice tidak tahu kalau rasa cinta nya kepada Janaka sudah tumbuh tanpa dia sadari. Awalnya dia mengira kalau hal itu merupakan sebagian dari rasa iba nya kepada masa lalu Janaka yang pelik.

Dugaannya salah. Imbas dari masa lalu itu, Hadi, ayahnya memisahkannya dengan Janaka dengan ancaman perpisahan.

Bantal yang menjadi alas kepalanya sudah lembab karena terus di guyur air mata Janice.

"Mas? Apa ini karma buat aku?" Janice bermonolog di tengah-tengah tangisnya.

"Dulu, aku sangat benci bahkan aku yakin kalau omonganku ada yang menyakiti hati kamu. Sekarang aku justru sedih membayangkan akan kehilangan kamu."

"Mas..." Suara Janice hampir habis. Saluran yang menghubungkan antara hidung, tenggorokan dan mata yang saling bersinergi tertawan oleh tangis Janice. Hingga matanya sembab, hidungnya meler dan tenggorokan nya sakit.

Tok! Tok!

"Den Ayu?"

Janice tidak menjawabnya. Dia sedang malas keluar karena Papa nya pasti kan terus merongrong nya untuk berpisah dengan Janaka.

"Den Ayu keluar ya, di luar ada Ndoro Sekar. Beliau mau bertemu Den Ayu."

Tangis Janice berhenti. Jadi Neneknya sudah tahu mengenai masalah Janaka? Oh, apa jangan-jangan neneknya akan memaksanya untuk berpisah juga? Wah, tidak bisa di biarkan. Meski Janice pernah membuat kesalahan dengan memaki, memfitnah dan menyakiti Janaka, percayalah dia sudah menyesal.

Berpisah dengan Janaka adalah satu-satunya hal yang tidak dia inginkan.

"Gue harus kabur dari rumah! Ya...gue harus kabur sekarang!" Janice bangkit dari aksi rebahannya. Dia segera berlari untuk mencari tali atau apapun itu yang bisa dia gunakan untuk turun ke bawah.

Pontang-panting kesana-kemari, ubek sana ubek sini, bongkar laci, bongkar lemari, Janice tidak menemukan benda yang namanya tali.

"Ah iya selimut!"

Dengan gerakan cepat Janice mengumpulkan selimut dan scarf yang bisa dia gunakan untuk kabur ke bawah. Setelah di rasa cukup, Janice langsung menyambungnya agar saling terhubung.

"Kayaknya cukup kencang deh. Bismilah Janice, lo pasti bisa!" ucap Janice sambil mengaitkan ujung selimut dengan tiang penyangga balkon nya. Ketika Janice coba tarik dan di rasa kaitannya kuat, dia bersiap untuk turun. Perlahan tapi pasti Janice meluncurkan tubuhnya ke bawah.

"Syukurlah Papa nggak kasih bodyguard di depan!" Setelah kakinya menapak dengan selamat ke tanah, secepat tupai melompat, Janice berlari melewati gerbang samping yang tidak ada penjaganya.

Gerbang sudah ada di depan mata, Janice justru di buat kebingungan karena teralis nya dalam kondisi terkunci.

"Gue nggak bisa nunggu Mbak Lastri atau siapapun buka gerbang ini dan satu-satunya cara adalah...," Janice mendongak mengukur seberapa tinggi gerbang di depannya."memanjat."

Yah, hanya dengan memanjat Janice bisa kabur dari rumahnya.

Dengan sedikit nekat, kaki sehalus porselen Janice mulai menapaki lubang-lubang teralis yang kasar. Benar-benar susah sekali. Di satu sisi, Janice berusaha keras agar pijakannya tidak menimbulkan bunyi.

Bruk!

"Hah, akhirnya gue bisa kabur juga!"

"Pa, Ma, maafin Janice. Janice pergi dulu!" pungkas Janice sebelum dia berlari mencari kendaraan yang bisa membawanya ke Janaka.

                                    🕊️🕊️🕊️

Kabar mengenai foto Janaka sudah sampai ke telinga Nenek Janice. Perempuan yang masih sehat di usia senjanya itu langsung menemui cucunya di rumah.

"Maaf Ndoro, Den Ayu tidak mau turun. Mungkin ketiduran karena nggak ada jawaban!" Lastri melaporkan.

"Ya sudah biarkan. Tapi kamu jangan lengah, awasi terus kamarnya Janice!"

"Baik Ndoro." Lastri membungkuk patuh.

Sekar mengembuskan napas kasar. Setelah memberi kode kepada Lastri untuk beranjak ke belakang, Sekaryan menatap garang kepada anak keduanya itu.

"Kalau kamu tega memisahkan mereka berdua berarti kamu sudah tidak percaya lagi dengan Ibumu, Hadiningrat!" Suara tegas lantang milik Sekaryan, nenek Janice menguasai ruang tamu.

"Apa maksud Ibu? Sudah sepatutnya seorang anak itu percaya sama orang tuanya. Kurang percaya apa lagi aku dengan Ibu?" Hadiningrat tak mau di salahkan.

"Bertahun-tahun Janaka terapi, Ibu bisa tahu kalau dia anak yang baik. Mungkin hanya takdir nya saja yang kurang baik. Hadi, menjodohkan cucu perempuan pertama Ibu dengannya itu bukan tanpa sebab."

"Tapi berita itu pasti akan menganggu perusahaan kita, Bu? Saham perusahaan kita bisa turun drastis loh!"

Sekaryani berdecak."Bukan seperti Hadi yang Ibu kenal. Sejak kapan kamu memperdulikan perusahaan daripada kebahagiaan anak mu sendiri? Bukankah waktu itu kamu yang bilang sendiri kalau Janaka itu satu-satunya pria yang cocok menjadi suami Janice? Lalu kenapa sekarang kamu getol sekali memisahkan mereka?"

Pembicaraan Ibu-anak ini belum menemui titik temunya, Ayu yang memilih menyimak juga tak kuasa lagi mendengar sahut-sahutan suara keduanya.

"Begini saja Bu, Pah, kita serahkan saja semuanya kepada Janice. Kalau dia benar-benar mencintai Janaka kenapa kita harus bersikeras memisahkan mereka? Betul kata Ibu, toh, itu semua masa lalu Janaka yang dia pun tidak menghendakinya!"

Hadi menatap istrinya tak percaya. Dia tidak bermaksud memandang orang dengan rendah, dia hanya tidak ingin putri satu-satunya menderita di kemudian hari. Tapi kenapa kedua perempuan yang berada di hatinya itu tidak mampu memahami nya?

"Kalian tidak mengerti. Hadi melakukan ini agar Janice bahagia, Bu. Apa salah?"

"Yo ndak salah! Tapi sekarang kebahagiaan Janice itu Janaka, Hadi!" Sekaryan mengibaskan kipasnya ke kiri. Urat di lehernya sudah menegang.

"Permisi Ndoro, Tuan dan Nyonya!" Lastri datang menyela. Asisten rumah tangga itu terlihat tergopoh-gopoh.

"Iya, ada apa? Mau nawarin makan siang? Nanti saja!" Sekaryan menyahut.

Lastri menggeleng cepat."Bu-bukan, Ndoro!"

"Itu Den Ayu kabur! Jendela kamarnya terbuka dan Den Ayu sudah nggak ada di kamarnya!"

"Walah dalah!" Kompak mereka bertiga bersuara. Wajah Hadi mengeras menahan amarah.

Sekar menuding wajah Hadi dengan kipasnya."Tuh lihat, Janice pergi karena siapa? Coba aja kalau kamu menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Cari jalan keluar bersama-sama."

Hadi yang menjadi tersangka dari menghilang nya sang putri kini menunduk lesu.

"Sekarang cari Janice di rumah nya. Ibu yakin dia mau bertemu Janaka dan merencanakan kabur ke luar kota!"

Hadi mendongak."Kok Ibu tahu?"

"Tahu lah. Anak mu kan mirip kamu. Ada masalah kabur, di jodohin sok nolak, pas udah cinta nggak mau berpisah barang semenit pun! Memangnya Ibu ndak tahu dia punya sifat kayak siapa?"

"Bu, jangan ungkit-ungkit masa lalu ku, toh. Malu!"

Sekar mendengus. Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya.

Bukan Jodoh Impian  [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang