Bagian 2

87 7 0
                                    

Adalah Kana, nama istriku. Sejak tadi kulihat dia murung memandang ke arah jendela. Kana berumur lebih tua dariku, beda umur sekitar 3 tahun. Aku berondong, berondong manis. Bukan alasan perjodohan saja, beda umur ini juga yang membuat aku segan menyentuhnya. Dari awal pindah ke sini dia bilang jangan menyentuhnya dulu, dia belum siap. Ya udah, mau gimana lagi. Dia selalu memosisikan dirinya sebagai mbak dan aku sebagai adik. Sok ingin mandiri di depan adiknya ini, eh, suaminya. Padahal dia itu manja banget kata ayahnya. Kena sengatan matahari aja langsung minta belikan lulur 1 kilo. Di rumah ini dia sok jadi dewasa, sok jadi tertua, memang dia tua sih tapi sumpah wajahnya kayak masih umur 20 tahun.

"Kenapa murung, sih?" tanyaku melihat Kana duduk di sofa butut yang kubeli bekas dari senior, wajahnya menghadap ke arah jendela.

"Bosan. Istri tentara apa nggak boleh kerja?"

"Kamu mau kerja?"

"Mau."

"Ingat pesan orang tuamu, kamu nggak boleh kerja di luar. Biar aku yang cari rezeki."

"Aku bosan, Ri."

Selalu gitu. Nggak enak didengar. Bukan, bukan rengekan kebosanannya tapi dia memanggilku langsung nama. Iya aku tau aku berondong manis, tapi harusnya dia menghargaiku sebagai suami. Belum pernah kutegur langsung, aku takut dia nggak nyaman di sini. Biarkan dulu mengalir perjalanan rumah tangga jagung ini.

"Terus gimana biar kamu nggak bosan?" Aku ikut duduk di sampingnya. Posisinya berpindah menghadap padaku.

"Aku mau kerja."

"Nggak bisa, kamu nggak boleh kerja di luar."

"Ya udah aku mau kerja dari rumah aja."

"Kerja apa dari rumah?"

"Aku mau jualan baju, bisa kupasarkan secara online. Daripada bosan gini-gini terus, andai bukan karena Ibu mau bunuh diri, nggak mungkin sekarang aku nikah. Aku masih bisa jalan-jalan bareng teman-teman di kampung. Nggak kayak di sini, dekem aja dalam rumah."

Tuh kan nggak enak lagi ....

"Ya udah nanti jalan-jalan bareng aku biar nggak bosan."

"Nggak mau, pasti kamu mau cari kesempatan kan, boncengin aku naik motor biar aku pegangan di pinggangmu. Iiihhh ... ogah!"

Kan ... ya kan ....

"Ya udah kalau nggak mau nggak usah jualan baju!"

"Iiihh kamu ini ya!" Dia mencubit lenganku.

"Aku turuti maumu jualan baju dari rumah, tapi ada syaratnya."

"Apa?" Matanya membola. Terlihat jelas warna kecokelatan di matanya, indah, aku suka.

"Heh, malah ngelamun. Apa syaratnya?" Kana menjitak kepalaku. Lah, durhaka sama suami. Eh iya, apa syaratnya ya? Tadi aku Cuma mancing aja, serius. Tapi ada bagusnya juga, mumpung dalam situasi aku yang jadi pemenang, harus dimanfaatkan.

"Syaratnya aku umumkan nanti malam pas makan malam."

"Kok gitu?"

"Ya terserah, kalau mau jualan baju ya pake syarat."

"Ya udah iya, kutunggu nanti malam!"

Kemudian dia masuk ke kamarnya, terdengar suara dia mengunci pintu. Selalu begitu dalam sebulan ini. Kami tidur masih di kamar yang beda. Rumah dinas militer menawarkan tiga kamar bagi prajurit bintara sepertiku. Dua kamar menempel dan jadi satu dengan ruang tamu. Satu kamar lagi ada di belakang, dijadikan gudang penyimpanan barang-barang milikku. Kana tidur di kamar yang berisi springbed hadiah dari orang tuanya. Sedang aku, tidur di kamar sebelah dengan kasur busuk yang busanya mulai kempes.

Sambil menunggu nanti malam, harus kusiapkan benar-benar syaratnya. Jelas, harus menguntungkan diriku. Kupikir-pikir dan ...yes ... udah ketemu.

**

Jadi Sayang, Nggak?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang