Setelah apel pagi aku langsung merapat ke koperasi milik detasemen. Aku diberi amanah sebagai pengurus koperasi. Sudah 2 tahun, ini masuk tahun kedua. Satu tahun lagi kepengurusanku di koperasi berakhir. Awalnya kupikir enak dekem di koperasi, lepas dari tanggung jawab seorang prajurit seutuhnya. Ternyata tidak, kerjaannya malah banyak. Menghitung uang sampai ratusan juta. Bukan uangku, uang orang. Kalau ada selisih nominal sedikit saja, sudah pasti harus mengulang dari awal.
Tak terasa hampir setengah hari berkutat di koperasi, masih di depan komputer fokus menemukan selisih angka. Nggak ketemu. Ruwet, pusing. Terdengar suara ponsel yang kuletakkan di meja kerja milik rekan. Suaranya pelan karena tertumpuk oleh berkas-berkas yang tadi kuprint.
"Kamu di mana, Rig?" tanya suara di balik ponsel. Bang Gun yang menelepon, senior berpangkat sersan kepala.
"Siap, di koperasi Bang. Petunjuk?"
"Kana istrimu, 'kan?"
"Iya Bang. Izin, ada apa?"
"Ini ada sama aku. Sebentar kuantar ke rumah."
Jelas ... aku kaget. Dari mana ceritanya Kana bisa bersama Bang Gun? Diantar pulang pula, lah, memangnya Kana dari mana mau ke mana?
"Izin, kenapa bisa ketemu Abang?"
"Kamu ini gimana, istri baru pindah ke sini sudah kamu lepas ke pasar sendirian. Bingung dia cari jalan pulang, lupa katanya. Duduk sendirian panas-panas di pinggir pasar. Wajahnya nggak asing makanya Abang samperin kebetulan Abang lewat pasar."
Kana keluar, ke pasar? Kapan? Kok nggak izin? Wah, durhaka.
"Siap, Bang. Biar saya jemput ke sana."
"Nggak usah, ini mau kubonceng. Kamu tunggu aja di rumah."
"Siap. Mohon maaf merepotkan, Bang."
Tak perlu menunggu lama, aku langsung beranjak ingin pulang. Ini pertama kalinya Kana nekat keluar rumah tanpa bilang. Selama ini memang nggak pernah keluar. Dia orang baru, mana kenal jalanan. Aku mengizinkannya jualan baju di rumah, bukan berarti memberi kebebasan dia keluar rumah seenak udelnya. Jangankan keluar rumah sendirian pakai nyasar kayak gini, jualan baju di rumah kalau sampai didengar ayahnya, bisa habis aku. Ayahnya mau hanya aku yang berjuang mencari nafkah, Kana nggak boleh ikut-ikutan. Namanya juga anak kesayangan.
"Rig, mau ke mana?" tegur kepala koperasi yang biasa dipanggil Kaprim. Pangkatnya letnan yang diberi amanah mengepalai koperasi detasemen.
"Izin, pulang makan siang Kaprim." Sambil kutengok jam di tangan, untung sudah waktu makan siang walau belum saatnya istirahat siang, kurang 30 menit lagi menuju jam 12.
"Nanti dulu, tolong masukkan data rincian barang titipan ke flasdis ini." Kaprim menyodorkan flasdis. Duh ... gimana mau nolaknya, terpaksa aku duduk lagi depan komputer. Setengah kalut di otak sampai data rincian barang yang biasanya enak kutemukan dalam folder, kok tiba-tiba ngilang tanpa jejak.
"Mana, Rig, lama sekali?" Kaprim menanyakan lagi.
Mana ya, biasanya ada di folder yang kuletakkan di desktop. Ini foldernya ada, isinya nggak nampak. 20 menitan kucari nggak nemu. Kaprim mendekat, ikut menengok layar, kemudian telunjuknya menunjuk salah satu file bertuliskan data rincian barang. Astaga ....
"Ini kan?"
"Siap, betul Kaprim."
"Gitu aja kenapa sampai setengah jam, sudah lapar berat kamu?"
"Siap."
"Ya udah, cepat masukkan ke flasdis."
"Siap."
Sumpah, dari tadi mataku tertuju ke deretan file dalam folder yang sama tapi nggak nemu. Saking kalutnya, takut ada apa-apa dengan Kana fokusku jadi ambyar. Harus segera pulang ke rumah, mengintrogasi Kana. Awas aja dia ....
**
Sampai di rumah, pintu dalam keadaan terbuka. Berarti Kana sudah pulang. Nggak ada kendaraan Bang Gun lagi. Kutemukan Kana sedang meringkuk di kamar. Aku bingung harus emosi atau bagaimana, ingin marah tapi ....
"Kamu kenapa main keluar rumah gitu aja, nggak bilang-bilang sama aku?" Nada bicaraku agak meninggi.
"Maaf," lirihnya. Dia duduk di pinggiran tempat tidur dengan wajah tunduk. Jadi nggak tega aku mau marah.
"Coba jelaskan, kamu dari mana?" Aku duduk di sampingnya, mencoba merangkul bahunya tapi ditampik.
"Dari pasar."
"Kamu kan orang baru di sini, kenapa nekat?"
"Katanya kamu bakal pulang buat sarapan, aku udah masak tapi kamu nggak pulang-pulang. Tadinya aku mau izin sekalian pas sarapan, ya kan kamu nggak pulang. Lagi nyapu kebetulan ada istri tetangga sebelah ngajak ngobrol, sekalian aku nanya di mana tempat grosiran pakaian. Kata dia di pasar bagus-bagus. Aku tanya sekalian pasar letaknya di mana. Ya udah aku ke pasar naik angkot."
"Kana ... kamu tau waktu Bang Gun nelepon, sebegitu hebatnya aku khawatir sama kamu. Untung Bang Gun orang asrama, coba kalau dia orang lain, bisa diculik kamu."
"Aku nunggu di pinggir pasar kelamaan, pas ada siapa itu tadi lewat. Berhubung dia pakai baju loreng, makanya aku mau diajak pulang."
"Emang nggak ada angkot lagi yang lewat pasar? Kenapa pake nunggu lama-lama di pinggiran?"
"Ada angkot, banyak malah. Tapi pas angkot berhenti nanyain mau ke mana, ya aku nggak tau jawab apa. Nggak tau alamat rumah sini."
"HP ... kan ada HP. Kenapa nggak nelepon aku?"
"Aku takut kamu marah."
"Kalau sudah gini, ya aku makin marah!" Nadaku meninggi lagi.
Kana diam, menunduk. Lah, kok ... air matanya jatuh. Ya ampun, dia nangis. Mengusap-ngusap matanya dengan kedua tangan. Lama-lama sesunggukan.
"Malah nangis sih?"
"Aku nggak bisa diginikan."
"Diginikan gimana?"
"Kamu marahi aku, Rig."
Tobat, ya, semesta alam. Aku tobat. Paringi sabar sing luweh.
"Aku marah karena sayang. Aku itu udah sayang banget sama kamu, Kana. Kalau terjadi apa-apa sama kamu, aku yang repot."
Huuaakk ... nangisnya malah makin kencang. Mau kupeluk, takut dibilang macam-macam, padahal udah sah yak jadi suami istri. Anak orang nyebelin gini, untung udah sayang.
"Ya udah, iya, aku nggak marah. Udah diem, jangan nangis lagi. Nggak cantik kalau nangis, mirip boneka chaki." Aku mencoba menghibur tanpa menyentuhnya.
Hingus cairnya disentrup. Air mata diusapnya sendiri pakai lengan baju. Nangis aja cantik gitu, gimana kalau senyum. Rasa ingin kukulum ... bibir tipisnya. Ups ....
"Besok-besok jangan gitu lagi. Kalau mau keluar, tunggu aku pulang. Maaf, ya, tadi aku nggak sarapan, dipanggil ke koperasi, harus selesaikan data secepat mungkin."
Kana mengangguk, tapi tak bersuara.
"Jadi, ke pasar dapat apa? Udah ada baju yang mau dijual?"
Bibirnya maju 10 senti ke depan sambil menggeleng.
"Loh, belum dapat apa-apa? Ngapain aja di pasar?"
Air matanya kembali netes perlahan. "Udah sampai pasar, udah ketemu grosiran bajunya, tapi ... duitnya nggak ada. Duitnya cuma cukup buat naik angkot pulang pergi." Tarik napas panjang, Rigo. Tahan ... jangan tertawa. Anak orang kasihan, nanti nangisnya tambah kejer. Sabar ... baiklah, aku tertawa ngakak dalam hati aja. Sudah.
**

KAMU SEDANG MEMBACA
Jadi Sayang, Nggak?
RomanceKehidupan after merrid seorang tentara dengan wanita yang dia sayangi sejak awal ketemu. Sayangnya sang wanita sama sekali bukan di pihak yang mencintai. Kehidupannya sehari-hari penuh kekocakan. Sedih-sedihnya juga, dikit. Pokoknya seru. masa sih...