Bagian 7

63 3 0
                                    

Pagi bersambut, kokok ayam menyeruak pendengaran. Suara gemerisik dari arah dapur. Kulebarkan mata yang masih lengket ingin tertutup kembali. Kana sudah nggak ada di tempat tidur. Selimutnya terlipat rapi. Pasti lagi masak di dapur. Tuh, bener kan dia di dapur.

"Pagi, Sayang," ucapku yang menyender di perbatasan pintu dapur dan ruang tamu.

"Nggak usah panggil kayak gitu. Kamu mau sarapan apa, biar Mbak masakin."

Loh ... loh ... kok mbak-mbak lagi?

"Nggak ingat persyaratan kemarin? Di rumah ini yang ada cuma suami istri, nggak ada lagi mbak dan adik."

"Udah, nggak usah memperkeruh suasana Rig, untuk modal yang aku pakai jualan tenang aja, nanti bakal aku kembalikan pelan-pelan."

"Ada apa lagi? Bukannya kemarin sudah enakan?"

Kana melipat tangan depan dada menghadap padaku. Senyum tipis terbentuk di ujung bibir, seperti senyum sinis ibu tiri.

"Seberapa keras kita mencoba untuk menikmati proses rumah tangga ini, kalau masing-masing kita masih bermain di masa lalu, sampai kapan pun akan selalu terasa terpaksa," jelas Kana, semakin membuatku bingung. Omongannya sudah setara dengan umurnya, tapi aku nggak suka. Aku lebih senang dengan Kana yang manja dan bikin pusing.

"Oh, kamu marah gara-gara wanita semalam?"

"Kamu lihat kan dia dorong aku gitu aja, terus kamu ngapain? Cuma liat aja? Ngakunya suami, tapi istrinya disakiti orang diam aja. Nggak tegas kamu!"

"Oh, kamu sakit hati? Iyeeess ... sakit hati tandanya sayang. Coba kalau—"

Praaannk ....

Genderang perang nenek lampir berbunyi. Kana melempar sutil ke atas wajan. Kaget aku, sumpah.

Aku ngalah. "Iya, maaf yang semalam. Beneran aku nggak pernah pacaran serius dengan siapa pun, aku—"

"Halah sudahlah, mendingan kamu mandi. Aku mau buat sarapan. Pergi sana!"

Aku masih tetap berdiri di tengah pintu perbatasan walau sudah nggak ada daun pintunya. Gantian kulipat tangan depan dada sambil cengengesan lihat bidadariku yang lagi terbakar cemburu. Kana melirik ke arahku, sinis, masih sinis.

"PERGI NGGAK?!" teriaknya mengacungkan sutil padaku.

"Iya ... iya ... aku pergi. Mandi bareng, yuk?"

Bukan lagi sutil, sekarang senjatanya ganti cobek batu yang beratnya super. Dia mengancam mau ngelempar cobek itu ke mukaku. Aku mengalah. Sebenarnya nggak mungkin juga kan dia tega lempar cobek itu, tapi aku ngalah. Kasihan, kalau emosinya nggak terkontrol wajahnya bisa makin tua melebih umur.

**

"Nasi gorengnya enak, tapi ada kurangnya." Aku menggoda Kana yang asyik menghitung jumlah baju. Hari ini dia buatkan sarapan nasi goreng. Hanya aku yang makan, dia nggak biasa sarapan pagi. Biasanya makan pagi sekitar jam 10 atau malah langsung makan siang. Tanggapanku tentang nasi goreng nggak direspon. Menoleh padaku pun tidak.

"Kana ... nasi gorengnya enak, tapi ada yang kurang!" Kuulangi sekali lagi.

"Tambahi kalau ada yang kurang."

"Tolong tambahi donk!"

"Tambahi aja sendiri, garam sama gula ada di dapur."

Jadi Sayang, Nggak?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang