Bagian 8

75 2 2
                                    

Aku selalu bangun terlambat dari Kana. Pokoknya setiap aku buka mata, pemandangan rumah yang sudah dirapikan memanjakan netra. Belum lagi wangi rempah bawang-bawangan menggoda indera penciuman agar segera bangkit menuju dapur. Pagi buta Kana sudah masak. Aku nggak pernah nyuruh masaknya harus pagi buta, pagi terang benderang juga nggak masalah. Tapi ya, sudahlah.

"Masak apa, Sayang?" Aku berdiri di tengah pintu dapur yang berbatasan dengan ruang tamu. Pintu tanpa daun pintu. Udah keropos daun pintunya, sekalian aku copot aja demi keselamatan.

"Nasi goreng."

"Lauknya apa?" Kayaknya kemarin sudah nasi goreng. Iya nggak sih?

"Nggak pakai lauk. Kan aku sudah bilang, persediaan kulkas udah habis. Cuma ada beras, itupun sisa dikit."

"Harusnya kamu atur keuangan keluarga kita."

Kana berbalik menghadap ke arahku. Alisnya berkerut. Matanya agak berkedip menahan ada yang mau keluar. Eh, kok kayak mau nangis. Emang aku ada ngomong apa ya?

"Iya, aku salah." Suaranya teramat lirih. Lah, dia sedih, beneran netes air mata.

"Loh, kok nangis?"

"Aku nggak bisa atur keuangan. Uangnya sudah habis, buat beli lauk aja nggak bisa." Air matanya menetes, mengalir malah. Diusapnya pakai lengan daster.

"Bukan begitu maksudku, kamu nggak salah. Maksudku, kalau butuh apa-apa itu bilang. Kamu terlalu sungkan bilang apa pun sama aku. Ayolah, kita ini rumah tangga. Bukan rumah hantu, isinya ada tapi kayak nggak ada kehidupan."

"Andai aja aku bersi keras nolak perjodohan ini!"

"Eh, bukan gitu. Bukan masalah nolak atau nggak, kalau kita sudah ada di bawah atap yang sama, tidur seranjang, artinya kita ini jodoh. Iya nggak? Iyalah, masa enggak."

Kana menyenggol bahuku seraya berlari ke kamar. Yah kan ... pagi-pagi udah mewek anak orang. Lihat coba, siapa yang lebih dewasa di sini. Aku. Sabar Rigo, ini baru permulaan. Semua butuh proses. Gimana ini cara diamin gadis yang lagi ngembek, eh, ngambek.

Aku mengikuti Kana ke kamar. Untung pintu kamar nggak dikunci, biasanya dia selalu mengunci pintu kalau lagi galau gini.

"Sayang, maafin aku ya kalau kata-kataku bikin kamu luka. Nggak usah bahas lagi masalah jodoh-jodohan, kita ini jodoh, titik. Aku nggak peduli kamu belum bisa sayang atau gimana, yang jelas aku sayang kamu. Aku nggak mau pisah sama kamu kecuali maut yang misahin. Aku mau punya keturunan dari kamu."

Matanya langsung melotot. Hilang sudah tangisnya. Kana menyilangkan kedua tangan di depan dadanya.

"Keturunan?"

"Iya, kenapa?"

"Aku belum siap ngapa-ngapain sama kamu, Rig. Keluar!"

"Lah, emang aku ngajak ngapain?"

"Keluar Rigo?!"

"Iya memang harus keluar, kalau nggak keluar gimana mau punya anak. Iya nggak?"

"Apanya yang keluar sih?" Raut wajah Kana lucu, sumpah. Tangannya masih menyilang depan dada. Takut aku keluarin, eh, takut aku apa-apain.

"Lah, emang apanya yang harus keluar supaya jadi anak?"

"RIGOOOOO?!"

"Apa, Sayang?"

"KELUAR?!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jadi Sayang, Nggak?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang