bagian 4

78 4 2
                                    

Huuaaahhmm ... kurentangkan tangan sambil menguap. Rasanya nikmat sekali. Sudah lama aku nggak tidur di kasur empuk, ditemani betina cantik lagi. Iya, malam ini perdana kami tidur sekamar lagi. Waktu itu udah pernah tidur sekamar pas habis nikah, yah, di malam pertama tapi nggak ngapa-ngapain. Cuma merem doank. Sama, malam ini pun juga. Kana masih terpejam di sampingku. Selimut yang dia pakai sudah jatuh ke bawah. Tetap aja nggak bisa kuintip isi dalam pakaiannya. Lah, masa tidur sama suami pakai pakaian super lengkap kayak mau kondangan. Serba panjang, nggak gerah apa ya?

Kasihan juga. Aku tau berat baginya menerima perjodohan itu. Walau orang tua kami berteman dekat, belum tentu memaksa dua hati bersatu semudah membalik telapan tangan. Wajahnya sangat cantik, bagiku. Kusingkap poninya ke samping, dia bergerak melipat kaki menyamping mirip orang kedinginan. Selimutnya yang jatuh kuambil lalu kupasangkan ke tubuhnya. Dia melek, langsung melompat ke ujung tempat tidur.

"Heh, mau ngapain?" teriaknya sambil memukul kepalaku dengan guling. Guling kapuk, tau kan beratya kapuk? Hhfftt ... elus dada, ada betina ngamuk.

"Ya ampun, nggak sekalian mukulnya pake meja yang di sebelah?"

"Lagian kamu bikin kaget."

"Lah, kamu yang bikin kaget. Aku nggak ngapai-ngapain kamunya lompat."

"Nggak ngapa-ngapain gimana, itu tanganmu grepek-grepek badanku." Dia melipat kedua tangan depan dadanya. Seperti ingin kuremas saja itu ... anu ... nggak taulah nyebutnya apa dua gunung kembar milik betina.

"Itu selimutmu jatuh, kulihat kamu kedinginan makanya mau aku selimutin. Negatif mulu pikirannya. Tenang, aku nggak bakal ngapa-ngapain duluan sebelum kamu yang minta."

"Aku nggak bakal minta duluan!"

"Kalau aku yang minta gimana?"

Kana langsung ngacir keluar kamar. Ya ampun segitunya sama suami.

"Eh, mau ke mana?" Kuikuti dia sampai di dapur.

"Mau ngapain? Udah sana, hus, sana!" Tangannya kembali dilipat depan dada.

"Kenapa kabur sih?"

"Aku belum siap kasih kamu apa-apa."

Aku tersenyum kecil. Sudahlah, aku juga nggak akan memaksa. Tujuan utamaku hanya membuat Kana nyaman denganku. Kalau udah nyaman, kan gampang mau ngapa-ngapain dia. Eh ....

"Ya udah, kamu buatkan sarapan yang enak, aku apel jam 7," kataku sambil mengacak rambut Kana. Walau lebih muda darinya, tapi postur tubuhku lebih tinggi dan besar dari dia.

"Telur dadar plus sambal, gimana?"

"Apa pun itu, asal kamu yang buat, aku suka."

"Gombal!"

"Serius!"

"Udah sana mandi, aku dadarkan dulu telurnya."

"Mandi bareng yuk?"

Iyyaakk ... matanya melotot. Eh busyet, tangannya meraih pisau lalu diacungkan padaku. Sudahlah, ngalah dulu. Ngalah sama nenek lampir, daripada aku disihir jadi Pangeran Wiliam kan berabe.

"Bercanda. Gitu aja ngembek, mbeeekkk ...," ucapku memeragakan suara kambing.

"Ngambek, bukan ngembek!"

Kana melanjutkan pekerjaannya. Sudah cukup pembukaan hari ini. Yang penting ada interaksi. Ada kemajuan dibanding awal pernikahan, dari pagi sampai ketemu pagi dia terus murung. Suaranya sangat limited edition. Kalau nggak kuajak ngomong, nggak bakal suaranya keluar. Sekarang ... yah, sekarang udah campur sikapnya yang bar-bar. Nggak apa-apa, paling nggak di rumah ini aku merasakan kehadirannya dalam sepi.

**

Jadi Sayang, Nggak?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang