Bagian 6

75 3 4
                                    

Terlalu banyak yang harus diselesaikan hari ini di koperasi. Mulai dari membuat proposal sampai mengantar proposal itu ke perusahaan yang dituju. Modal milik anggota harus diputar agar kesejahteraan didapat untuk anggota itu sendiri. Tugasku tidak serta merta hanya berdiam di koperasi, sesekali jika ada jadwal latihan tempur, namaku selalu terlibat. Beberapa minggu ini sedang free latihan.

Matahari sudah pulang, sama, aku pun baru pulang. Bunyi terompet penurunan bendera merah putih pertanda waktu menunjukkan pukul enam sore untuk wilayah Kalimantan Timur. Sampai di rumah, aku langsung ganti baju di kamar belakang kemudian mandi. Kana ada, di kamar, nggak tau ngapain. Tadi waktu aku ngintip dia hanya berbaring di tempat tidur padahal aku mengucap salam berulang. Dia menjawab salam sih, pelan, udah gitu aja. Nggak pernah nyambut aku di pintu rumah, apalagi menyalimi punggung tanganku. Suatu saatlah. Semoga.

Aku menengok meja kecil terbuat dari kayu yang diletakkan dekat meja TV, meja kecil ini khusus menaruh makanan berhubung kami nggak punya meja makan. Di balik tudung saji ada menu telur dadar plus sambal. Telurnya terlihat sudah berkurang separuh, nasi di bakul juga sudah berkurang.

"Kana." Kupanggil nama gadis kesayanganku itu. Gadis ... ya jelaslah, dia memang masih gadis.

"Apa?" Kana keluar dari kamar. Wajahnya sangat datar, dia langsung duduk di sofa.

"Kamu nggak masak?"

"Itu yang di atas meja bukan makanan, ya?"

"Iya, ini kan telur dadar tadi pagi. Kamu—"

"Terus apa gunanya aku masak kalau lauk yang kamu minta nggak kamu makan. Ingat, seharian ini kamu makan nggak telurnya?"

Ya ampun, iya ya. Tadi siang setelah mendinginkan hati Kana, aku langsung kembali ke koperasi sampai sekarang baru pulang. Aku makan nasi bungkus yang dibelikan Kaprim, sampai lupa ada lauk di rumah. Mampuslah aku nenek lampir bakal ngambek lagi.

"Maaf, aku yang salah. Terlalu banyak kerjaan di koperasi sampai aku sendiri lupa makan." Terpaksa berbohong, kalau dia tau aku makan nasi bungkus di koperasi, bisa hancur semestaku.

Kana masih diam, lebih tepatnya cemberut. Jelek banget, tapi aku tetap sayang.

"Ayo, makan sama-sama," tawarku.

"Aku sudah makan. Itu aku sisakan telurnya untuk kamu," nadanya datar.

"Ya udah, aku habiskan semua ya?"

"Ya."

Setelah mengambil sepiring nasi dengan lauk telur dadar penyet, aku duduk di sofa. Kana memencet-mencet tombol remot TV tapi nggak juga ada chanel yang dia suka. Dari wajahnya kayaknya dia lagi badmood.

Ada apa ya? Masa gara-gara telur? Lagian aku nggak cerewet kok, nih buktinya telur kumakan semua walau sudah anyep.

"Kamu kenapa? Kok diam aja?" tanyaku.

"Terus aku harus lompat tinggi sambil salto gitu?"

"Coba cerita sama aku."

"Aku boleh jualan baju nggak sih?" tanya Kana.

"Ya boleh, kan sudah deal."

"Terus kapan aku bisa mulai?"

"Lah, kamu maunya kapan?"

"Tadi."

"Kan bajunya belum ada yang mau dijual."

"Gimana bajunya mau ada kalau nggak dicari dulu. Kamu bolehkan aku jualan, tapi kamu nggak ngantar aku ke tempat grosiran. Katanya kalau keluar harus nunggu kamu, lah kamunya aja senja-senja baru pulang. Mana ada sih pasar yang buka senja-senja. Kamu ingkar!"

Jadi Sayang, Nggak?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang