61

881 141 2
                                        

"Lama nggak ketemu."

Alana tak tau harus menjawab apa, lidahnya terasa kelu. Saat ini mereka hanya berdua di dalam lift. Lift ini menuju lantai empat, tempat praktek Edgar berada.

"Kamu lagi ngapain di sini?"

"A-aku magang." Alana menjawab terbata-bata.

"Jam berapa pulangnya?"

Alana heran mengapa Adrian menanyakan hal-hal seperti itu, alih-alih menanyakan kabarnya. Apa pria itu berniat mengajak ketemuan setelah jam praktek usai? Alana menghapus pikirannya setelah teringat akan gadis yang menggelendot manja di lengan Adrian.

"Nggak pasti."

"Oh."

Hanya itu saja? Alana mendengus sebal dalam hati. Rupanya Adrian hanya basa-basi bertanya seperti itu. Suasana hening sesaat, lift itu terasa berjalan sangat lambat bagi Alana.

Ting!

Alana segera keluar setelah pintu lift terbuka. Setelah mengangguk sekilas ia berniat pergi meninggalkan Adrian.

"Kalau aku ke rumah jam delapan apa kamu sudah pulang?"

"Hah?" Alana kaget mendengar pertanyaan Adrian. Untuk apa pria itu datang ke rumahnya, bukannya semua kisah mereka telah usai, dan lagi Adrian sudah memiliki wanita itu.

"Aku kangen sama bunda." Adrian beralasan.

"Datang aja, bunda selalu di rumah kok. Tapi aku udah nggak tinggal di sana. Aku sekarang tinggal di kosan."

Alana pergi meninggalkan Adrian. Sekuat tenaga ia menahan keinginannya untuk menoleh ke belakang untuk melihat reaksi Adrian.

Ia mempercepat langkahnya agar cepat sampai di ruangan Edgar. Untung saja Adrian tak mengikutinya.

Ia segera membuka pintu ruangan Edgar dan segera menguncinya. Jam praktek masih belum di mulai, dan di ruangan ini hanya ada Edgar seorang.

"Kenapa lo? Perut lo masih sakit?"

"Gue habis ketemu jurig."

"Ini 'kan rumah sakit, udah pasti jadi base camp-nya jurig lah. Tapi masih pagi gini masa 'tuh jurig udah muncul? Apa sekarang ada sistem shift di kalangan para jurig?" Edgar berkata absurd, membuat Alana kesal.

"Maksud gue si onoh." Alana mengintip lewat korden jendela.

"Onoh apa?" Edgar bertanya bingung. Ada-ada saja ulah Alana, tadi sakit perut lah, ketemu jurig lah.

"Itu, sebut saja namanya Adrian."

"Lo terlalu jelas ngasih clue-nya, Dodol!" Edgar ikut mengintip dari korden. Tak nampak seorang pun di sana.

"Mana? Nggak ada. Lo liat dia di mana, sih?"

"Tadi dia ngikutin gue naik lift."

"Lo yakin dia nyata? Maksud gue, lo nggak  berhalusinasi 'kan?" Edgar bertanya seolah sedang mendiagnosa pasien.

"Halusinasi? Lo pikir gue kang bubur?" Alana sebal karena dirinya diperlakukan bak seorang pasien.

(Halusin-nasi, tukang bubur, hehe garing)

"Kayaknya lo mengidap skizofrenia, kadang terlalu rindu pada seseorang bisa menyebabkan seseorang mengalami delusi."

"Gue sehat wal afiat, Edgar. Itu tadi beneran orang."

"Taruhlah itu tadi beneran Adrian, terus ngapain lo malah kabur kek maling ayam?"

"Iya, kenapa, ya?" Alana menggaruk kepalanya.

"Lo nanya sama gue, terus gue nanya sama siapa, Dodol?" Edgar berdecak sebal.

"Ish, bego banget gue! Ngapain gue malah menghindar? Ntar dipikir gue belum move on." Alana menoyor kepalanya sendiri.

"Itulah lo, waktu Tuhan ngebagiin kebegoan, lo paling depan, jatahnya orang sekampung lo embat semua!" Edgar mengetuk kepala Alana dengan pulpen.

"Jadi entar kalau gue ketemu dia lagi, seharusnya gue bersikap biasa aja dong, ya?"

"Lo ngarep ketemu dia lagi?" Edgar mencibir.

"Kali aja, kata orang dunia ini 'kan sempit?"

"Sana, balik ke ruangan lo, bentar lagi jam praktek mulai." Edgar mendorong Alana keluar dari ruangannya.

Alana celingukan sebelum menuju lift, ia tak menemukan adanya Adrian. Ia menghela nafas lega.

"Yang tadi itu gue nggak mengalami delusi 'kan?" Alana bicara seorang diri.

"Tentu saja bukan."

Alana kaget ketika mendengar suara sahutan seseorang di belakangnya.

Teman Tapi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang