Edgar membaca satu per satu pesan dari Alana, jumlahnya banyak sekali, ada sekitar puluhan lebih. Sudah berkali-kali Edgar tak mengangkat panggilan dari Alana, membuat gadis itu memborbardir dirinya dengan banyak pesan.
"Edgar! Ngapain lo nggak angkat telepon dari gue? Mau mati lo?"
"Edgar, lo lagi sibuk apa, sih? Jangan-jangan lo udah punya pacar bule di sana?"
"Gue capek lo kacangin kayak gini! Telepon sekarang atau gue nggak mau kenal lo lagi!"
"Edgar! Jangan sok ganteng lo, kutil anoa!"
Edgar membaca satu persatu pesan dari Alana sambil tersenyum seorang diri. Ia tau, Alana tak akan mungkin bisa marah padanya. Mudah sekali menyogok gadis itu, dengan makanan pun cukup.
Sampai matanya berhenti di pesan yang baru saja terkirim beberapa detik yang lalu.
"Hey, Edgar! Gue tau lo online. Bales pesan gue sekarang juga atau gue bener-bener marah."
Edgar masih bergeming, ia mengabaikan pesan dari Alana. Satu pesan masuk lagi ke ponselnya.
"Bentar lagi gue nikah sama mas Adrian. Lo nggak mau ngasih selamat ke gue?"
Edgar menghela nafas berat, ia mengumpulkan niatnya, menata perasaannya. Jarinya perlahan menggulir nama kontak Alana.
"Halo?"
"Hua! Edgar! Tega lo, ya!"
Edgar menjauhkan telinganya dari ponsel, suara teriakan Alana hampir saja merusak gendang telinganya.
"Selamat, ya. Akhirnya lo happy ending juga sama Adrian. Gue ikut seneng." Edgar mengucapkannya dengan bibir bergetar, semoga Alana tak menyadarinya.
"Makasih, ya. Tapi Lo pasti datang 'kan ke nikahan gue?"
Edgar terdiam, ia tak menjawab pertanyaan Alana. Ia tak akan sanggup menghadiri pesta pernikahan Alana, itu tak baik untuk hatinya.
"Edgar! Lo pasti datang 'kan?" Alana masih menagih jawaban Edgar. Membuat Edgar tak tega karena mendengar nada suara yang memohon itu.
"Gue nggak janji."
"Gue nggak mau tau! Pokoknya lo harus datang."
"Lo 'kan tau tiket Aussie-Indo nggak murah, Lan?" Edgar mencoba untuk bercanda.
"Pokoknya gue nggak mau tau, mau lo pinjem pintu doremon kek, gali terowongan kek, pokoknya lo harus ada di hari pernikahan gue. Ini sekali seumur hidup gue, Edgar. Lebih penting dari peristiwa gerhana matahari. Kalau itu bisa lo lihat setahun sekali, kalau nikahan gue ...."
"Iya-iya, gue usahain!" potong Edgar.
"Beneran loh, ya?"
"Alana, gue mau jujur sama lo."
Edgar mencoba mengungkapkan perasaannya, sekarang atau tidak sama sekali. Ia siap jika setelah ini Alana membencinya.
"Apa? Lo pernah minjem ponsel gue buat liat hentai, iya 'kan? Ngaku lo!"
"Itu bukan gue, itu si Juki." Edgar memutar bola mata malas. Dia tak habis pikir, mengapa ada orang yang senang dengan hentai.
"Oh, gue tau! Diem-diem lo ngefans Ji Hyo Twice 'kan?"
"Gue bukan K-popers, Dodol!"
"Jangan-jangan lo yang ngilangin file drakor di laptop gue, makanya waktu itu lo ...."
"Gue cinta sama lo!" potong Edgar cepat.
Suasana hening sesaat. Jantung Edgar berdebar kencang. Ia sudah sering mengumbar kata cinta pada banyak gadis, tak pernah sekalipun ia merasa seperti ini.
"Gar, lo lagi ngomong sama gue?"
"Siapa lagi, gue di kamar cuma sendiri."
"Lo ... Lagi gombalin cewek di ome TV?"
"Gue lagi ngomong sama lo, Alana Mahardika!"
"Gar, ini beneran lo 'kan?"
"Apa perlu kita VC?"
"Edgar, lo abis minum Vodka?"
"Gue nggak lagi minum, gue dalam keadaan sadar. Gue capek nahan ini sendirian. Sekarang gue lega, terserah kalau setelah ini lo benci gue."
"Ke-kenapa lo nggak pernah bilang sama gue?"
"Gue nggak mau persahabatan kita jadi canggung, terus lo ngejauhin gue. Gue nggak bisa kalau sampai itu terjadi."
"Jadi Mas Adrian benar?"
"Ya, dia emang bener."
"Lo jahat, Gar! Kok lo gitu, sih?"
"Gue juga nggak bisa milih gue mau suka sama siapa, Lan. Rasa ini datang begitu aja."
"Buset bahasa lo!"
"Gue serius, Lan. Lo nggak benci gue 'kan? Gue nggak berharap apa-apa sama lo. Gue tau, lo cuma nganggap gue teman, nggak lebih."
"Siapa bilang gue nggak marah? Gue marah banget!"
"Lan, maafin gue."
"Gue marah, kenapa nggak dari dulu lo cerita. Lo malah memendam semuanya sendirian, bertahun-tahun. Ini pasti sakit banget buat lo."
"Nggak papa gue sakit, asal gue masih bisa tetep dekat sama lo."
"Gue yang seharusnya minta maaf, Gar. Gue nggak peka sama perasaan lo."
"Bukan lo yang salah, Lan. Gue yang nggak tau diri. Bisa-bisanya gue mupeng sama teman sendiri."
"Lo emang teman laknat! Tapi gue sayang sama lo, em ... Tapi cuma sebatas sahabat."
"Gue ngerti."
"Gar, maafin gue, ya."
"Buat apa?"
"Karena gue nggak bisa balas perasaan lo. Padahal lo selalu ada buat gue."
"Lo yang selalu ada buat gue. Sebelum kenal lo, gue ngerasa nggak ada satupun seorang yang sayang sama gue. Setelah kenal lo, gue bisa ngerasain disayang sama orang lain. Gue ngerasa punya keluarga. Lo, bunda dan bang Paul, tulus sayang sama gue."
"Gimana sekarang hubungan lo sama mama lo?"
"Udah mulai membaik. Gue udah bisa nerima kalau mama papa gue emang nggak bisa bersatu. Mereka udah bahagia dengan keluarga masing-masing. Ada baiknya, sih. Gue jadi punya dua adik. Walaupun warisan gue jadi berkurang hehe .... "
"Gar, jangan pernah merasa kesepian lagi. Ada gue, bunda dan bang Paul. Mas Adrian udah ngertiin hubungan kita."
"Baguslah."
"Lo pacaran yang serius, cari cewek yang benar-benar sayang dan cinta sama lo. Jangan asal bohay aja."
"Gue mau hidup selibat aja."
"Ish, jangan kek gitu, Edgar. Kalau semua orang kayak lo, abis semua populasi penduduk bumi."
"Sekali lagi selamat, ya. Adrian beruntung dapetin lo."
"Gue nggak maksa lo datang, kalau lo emang nggak bisa. Tapi gue pasti bakalan seneng banget kalau lo ada di hari bahagia gue."
"Alana, setelah ini lo harus hidup bahagia."
"Lo juga."

KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Tapi Cinta
HumorNggak ada persahabatan yang murni antara pria dan wanita? Setuju? Kalau nggak percaya baca aja cerita ini.