Lara mendadak menemukan dirinya tersandung anak tangga terakhir di rumahnya sendiri. Ia meringkuk—memeluk dirinya sendiri dengan tubuh bergetar menahan rasa takut yang luar biasa hinggap dalam dirinya. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kencang, berusaha menahan isak tangis yang siap meledak kapan saja.
Naas, darah segar malah mengalir dari sudut bibirnya, hingga tangis Lara meledak.
Dengan langkah tertatih-tatih, ia mencari pemukul baseball yang biasa ia simpan di belakang pintu. Namun mendadak saja pemukul baseball itu hilang, entah kemana. Ia berjalan ke sana-kemari, mencari pemukul baseball untuk ia genggam erat.
"Tolong, ampuni aku. Tolong!" jerit Lara seraya terduduk lemas dan menutup kedua telinganya dengan erat.
"Tolong! Tolong, Ayah tolong!"
"Lara! Lara! Kamu di dalam? Lara!"
Lara dapat mendengar suara Jana di balik pintu mahoni itu, dengan langkah cepat Lara langsung membuka kunci pintu. Namun berulang kali ia coba membuka, kunci itu terus terjatuh. Tangan Lara bergetar hebat, ia bahkan tak bisa memutar kunci.
"Jana? Jana? Tolong aku!"
"Lara? Lara? Tenang, relax. Tarik napasmu perlahan dan buang lewat mulut secara perlahan. Okay? Ikuti aku dan pegang sesuatu di dekatmu."
Lara mengangguk paham, ia lantas memegang kenop pintu sebagai pegangannya. "S-sudah. J-Jana, tolong..."
"Relax. Lara, ayo tarik napas secara perlahan sekarang."
Lara menurut dengan cepat, ia menarik napas secara perlahan.
"Buang lewat mulut secara perlahan," titah Jana lagi.
Sampai akhirnya, ditarikan napas ketiga Lara bisa lebih tenang. Ia bahkan sudah mampu memutar kunci pintu dan membuka pintu mahoni itu secara lebar.
Ditatapnya Jana yang saat ini tengah menunjukkan raut wajah cemasnya. Tanpa aba-aba, Lara langsung menubrukan dirinya ke dada bidang milik Jana dan langsung memeluknya dengan erat, sampai-sampai satu buket mawar biru di tangan Jana terjatuh di atas kakinya sendiri.
Jana yang tak bisa menahan keterkejutannya itu langsung paham, ia mengelus punggung Lara dengan lembut. Sampai akhirnya, Jana bisa merasakan bahwa kaos polonya sudah basah akibat air mata Lara yang mendadak merebak dengan isak tangis yang begitu terdengar pilu dan menyakitkan di telinganya.
"Jana, aku takut."
Jana mengangguk paham, ia tak henti-hentinya mengelus punggung Lara dengan lembut. Sampai di mana tenggorokannya ikut tercekat, Jana lebih memilih untuk mendistraksi pikirannya sendiri.
"Ada aku di sini. Jangan takut."
"Jangan pergi."
Jana lagi-lagi mengangguk. "Aku janji. Mau aku temani di rumah?"
Tanpa menjawab, Lara langsung menarik Jana masuk. Tak lupa, ia mengunci pintu rapat-rapat. "R-rumahku berantakan, maaf."
"Tidak apa-apa, kamu sudah membersihkan diri?"
Lara menggeleng pelan. Sedari pagi ia belum membersihkan dirinya sendiri. "Belum."
"Aku janji tidak akan pergi. Kamu boleh membersihkan diri."
Tapi Lara rupanya benci ide itu. Ia bahkan tak beranjak sedikitpun dari tempatnya. "Aku takut dia datang, Jana. Pemukul baseball ku hilang."
Embusan napas keluar dari mulut Jana, hatinya begitu pedih saat melihat kondisi Lara yang terlihat mengenaskan. Sesungguhnya, ia tak mampu menatap kedua manik mata Lara yang air matanya masih belum kering.
"Baiklah. Sudah makan?"
"S-sudah."
"Mau aku temani tidur atau menonton televisi?" tanya Jana seraya menyelipkan beberapa anak rambut Lara yang terlihat terjatuh berantakan hingga menutupi wajahnya.
"Menonton, aku takut kalau tertidur. Bagaimana jika dia datang?"
"Baiklah, kemari." Pinta Jana yang akhirnya dituruti oleh Lara.
"Duduk di sini, biarkan aku memelukmu dari belakang," pinta Jana yang lagi-lagi Lara turuti.
Dengan rasa canggung, Lara duduk di paha Jana yang tengah duduk menyilang. Hingga akhirnya ia bisa merasakan Jana memeluknya dengan erat.
Bahkan seolah keraguan itu sirna, Jana menenggelamkan kepalanya di ceruk leher milik Lara. "Sebentar," bisik Jana dengan mata yang memejam kuat.
Entah apa yang ada dipikiran Jana saat ini sampai Lara bisa merasakan jika lehernya basah. "Jana?" panggil Lara.
Jana tak kunjung menjawab, ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada Lara hingga terdengar isak tangis dari bibir miliknya. "Maaf," bisik Jana.
Kerutan di kening Lara bahkan terlihat dengan jelas kala Jana mengucapkan kata maaf yang entah untuk apa. Ia lantas melirik Jana yang kini sudah tak lagi menenggelamkan kepalanya.
"Lara?"
Dengan susah payah Lara menoleh. "Ya?"
Bukannya menjawab, Jana tak lagi bisa menahan segalanya. Degan gerakan kelewat berani, Jana memangut bibir pucat milik Lara yang saat itu tepat berada di depan dirinya.
Posisi Lara bahkan kini sudah berubah, tubuhnya menyerong ke arah kiri dengan tangan yang bertengger di leher milik Jana. Tak bisa Lara pungkiri bahwa ia menikmati pangutan Jana yang saat ini terasa sangat lembut dan memabukkan, bahkan bibir yang tadi sempat perih itu tidak lagi ia rasakan.
Jana terus memperdalam pangutan bibir mereka hingga tanpa sadar air matanya ikut menetes. Sontak, Jana melepas pangutan bibir mereka secara sepihak. Terlihat raut wajah kecewa yang Lara siratkan, namun Jana lagi tahu diri posisinya sekarang.
"Maaf, aku hanya sedang merindukannya seseorang," gumam Jana dengan perasaan bersalah yang sedari tadi menggerogoti pikirannya.
Lara mengangguk kaku, rupanya ia tak begitu mempermasalahkan hal ini. "Jana, kenapa aku bisa mendadak nyaman denganmu?"
Jana tak menjawab, ia malah membelai wajah Lara yang rasanya kian hari kian tirus. "Makanlah yang banyak."
"Jana?"
"Hmm?"
"Besok ulang tahun Ibuku."
Belaian tangan Jana mendadak berhenti. Ia menatap lurus manik mata Lara yang saat ini begitu teduh dan hangat. "Apa yang kamu mau sebagai kado untuk Ibu?"
Lara menggeleng pelan, ia lantas membawa tangan Jana di pipinya untuk ia genggam. "Antar aku ke makam Ibuku."
Ketika kalimat itu terlontar, Jana tahu jika waktunya tak lagi banyak dan semakin menyempit. "Baiklah. Apapun yang kamu mau. Aku janji."
"Kenapa telapak tanganmu terdapat bekas luka?" tanya Lara setelah menyadari bahwa telapak tangan Jana penuh dengan bekas luka melintang.
"Hanya sebuah kecelakaan. Kecelakaan penting."
Lara lantas tersenyum, ia kemudian membelai pipi Jana dan sibuk menyeka sisa air mata di pelupuk matanya. "Ja, aku merindukanmu."
"Ra-" ucapan Jana terputus ketika Lara dengan sigap memangut bibirnya tanpa permisi. Bahkan rasanya lebih dalam dari awal, dengan tangan Lara yang menahan tengkuk Jana—seolah enggan melepas barang sejenak.
Dan saat itu juga, Jana tahu jika Lara-nya telah kembali. Walaupun waktu yang ia miliki hanya semalam tanpa ada jeda waktu untuk sekedar menikmati momennya.
***
Ada yang udah mulai paham sama ceritanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
broken kaleidoscope ✔ | jaehyun x wendy
Fanfiction[n] aneka peristiwa yang telah terjadi yang disajikan secara singkat. Cerita ini tentang Lara yang terjebak di salah satu memori yang semesta suratkan, hingga kedudukan Renjana yang terperosok jatuh. ⚠️This story contains blood and family violence.