Bukan Apa-apa #05

2 1 0
                                    


Aku pernah berteman dengan seorang perempuan yang senang berpindah-pindah tempat. Parasnya cantik, kepribadiannya cerah dan hangat. Dia, seperti keberadaan yang datang jauh dari tempatku tumbuh sedari kecil.

Memiliki jiwa petualang yang bebas dan tidak terikat, hal seperti itu bahkan menjadi kesan pertamaku saat bertemu dengannya.

Ia pernah mengataan bahwa salah satu alasannya senang berpergian adalah karena ia senang bertemu dengan orang baru. Pergi ke berbagai tempat dan bertemu dengan orang-orang yang kemungkinan besar tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Berbagi budaya, berbagi pengetahuan, juga berbagi kisah...dan rahasia.

Katanya, manusia cenderung lebih jujur dan terbuka terhadap orang-orang yang baru pertama kali mereka temui, lalu mereka sadar bahwa mereka kemungkinan besar tidak akan pernah bertemu lagi.

Di titik itu, bahkan rahasia terkelam dan terkejam pun bisa mereka utarakan secara cuma-cuma pada orang-orang 'numpang lewat' yang mereka temui saat itu.

Temanku ini menikmatinya. Bercerita tentang banyak hal pada orang-orang lokal yang ia temui sepanjang perjalanan lalu kembali berpindah tempat bahkan sebelum ia tahu nama orang-orang yang mendengarkan ceritanya.

Sebenarnya saat mendengar cerita itu darinya, gumaman kata 'berengsek' sempat hampir lolos dari bibirku.

Maksudku, dia bahkan tidak merasa perlu untuk tahu nama orang yang menerima segala keluh kesahnya, bukankah itu sedikit keterlaluan?

Tapi kemudian senyum pahit yang samar-samar terlihat di ujung ceritanya menangkap atensiku.

Dan saat aku bertanya apakah ia baik-baik saja, perempuan itu tampak terkejut, lalu perlahan-lahan, ia bergerak menyembunyikan wajah di balik kedua lengannya yang terlipat di atas lutut. Meringkuk kecil seperti sedang menahan sakit yang selama ini selalu tersembunyi di balik tiap senyum dan tawa cerianya.

Itu adalah awal dari pertemanan kami, sekaligus awal dari pengungkapan kisah kelam yang bertahun-tahun menyinggahi kerongkongannya tanpa bisa ia ungkapkan namun juga tidak bisa ia lupakan.

Hidup dalam keluarga berkecukupan yang cukup besar dan harmonis tapi harus tumbuh sendirian tanpa ada satupun orang yang menyadari kesendiriannya. Kesepiannya. Ketakutannya. Kesakitannya. Kehampaannya.

Sebagai anak pertama yang memiliki banyak adik, aku selalu berpikir bahwa beban terberat dalam keluarga pasti berada di pundakku. Tapi kemudian ia datang dan meruntuhkan segala kesombongan yang bertahun-tahun kupikul hingga bersarang dalam benakku.

Banyak hal yang baru dapat kusadari, saat perempuan itu mengutarakan kisah masa kecilnya.

Anak pertama akan selalu menjadi yang pertama. Yang selalu dinanti-nanti. Yang langkahnya selalu diperhatikan oleh setiap mata keluarga yang memandang.

Semua ekspetasi akan jatuh pada kakaknya. Setiap kata pujaan akan selalu tersasar pada kakaknya. Bahkan setelah ia menjejakkan diri pada pencapaian luar biasa yang sama, nyanyian puja-puji akan tetap jatuh pada tangan kakaknya.

'Tentu saja tidak mengagetkan, mereka kan kakak beradik.'

'Ahh pasti kakaknya menurunkan setiap pengetahuannya pada sang adik. Benar-benar kakak yang luar biasa.'

'Senangnya...punya kakak hebat seperti itu.'

Kemudian saat ia jatuh dari jalur yang sudah dibuat oleh kakaknya. Semua cacian dan ujaran kekecewaan akan terarah lurus pada wajahnya.

'Padahal mereka kakak beradik..'

'Sayang sekali...kakaknya sudah membukakan jalan yang bagus untuknya...'

'Menyedihkan, aku akan sangat malu jika aku menjadi kakaknya..'

Ia lelah.

Keberadaannya yang dulu, seolah hanya menjadi ekor dari sang kakak.

Benar-benar melelahkan. Juga menyakitkan.

Perempuan itu berhenti mengharapkan pengakuan orang-orang di sekitarnya sejak umur belia. Kemudian perlahan-lahan, ia mulai menghapuskan rasa kepercayaannya pada setiap umat manusia.

Menganggap keberadaannya sebagai 'bukan apa-apa' dan hidup sebebas-bebasnya.

Aku sempat terkejut saat mendengar pengakuannya tentang ia yang menghindari setiap kontak dengan keluarganya dan hanya kembali setiap beberapa tahun sekali untuk menghadiri acara penting, mengumumkan bahwa dirinya masih hidup dan bernapas, sehat, dan masih memiliki kecantikan luar biasa 'seperti kakaknya'.

Setelah ia menceritakan semua itu, aku menatap wajahnya yang tampak tenang, kembali dengan senyum bebasnya.

"You're fine?" tanyaku hati-hati. Bagiku, keluarga adalah hal yang paling penting. Tentu saja membayangkan hidup sebagai dirinya membuat darah dalam tubuhku berdesir.

Tersenyum kecil, ia lalu menolehkan kepalanya pelan, "I'm used to it. But I'm not fine. Not at all."

Senyum manis masih terpatri pada wajahnya, seolah segala hal dalam ucapannya bukanlah sesuatu hal yang berarti. Membahas pengalaman kelam seperti halnya ia membicarakan menu makan siang nanti. Benar-benar sesuatu yang membuat dadaku terasa nyeri.

Kutatap lekat-lekat iris biru di balik helaian rambut halusnya bersamaan dengan suara lembut yang kembali mengalun tenang dari bibir ranumnya.

"It never stop hurting. Nor will it ever be. You just make a room for it, along with the flow of this freaking time."

.

.

.

2021, anonymous.

Sepenggal KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang