Haruskah Aku? #02

19 3 4
                                    

Sakit.

Nafasku berat, dadaku sesak.
Isak tertahan mengisi hening ruangan. Aku menagis lagi, tanpa sebab.

Entah sudah kali keberapa hal ini terjadi padaku. Hanya ingin tumpahkan air mata tanpa alasan yang jelas.

Aku memang berujar ramah lembut beberapa menit lalu, namun saat berada di kamarku, rasanya seperti sudah berada di lain dunia.

Umurku bisa dibilang masih belia. Tapi berbagai hal sudah pernah berdatangan menghampiri hidupku. Orangtuaku bercerai kala aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun aku tidak merasa begitu sedih saat itu. Hanya kecewa yang muncul tanpa aku sendiri ketahui akar penyebabnya.

Dulu, aku tidak pernah membayangkan akan merasakan sesak seperti saat ini. Saat itu, aku masih dapat bertemu keduanya dan berbincang dengan leluasa bersama mereka. Tertawa, bercanda, berbagi cerita.

Namun kini sesak terus melanda. Semua kesedihan seakan mengintai tiap celah kosong untuk bisa masuk ke dalam relung hidupku.

Mama sibuk bekerja, dan kakakku, entahlah, dia juga punya dunia sendiri kan?

Bicara tentang kakak, ingatanku kembali menjelajah. Mengingat percakapan ringan antara dia dengan teman-temannya.

"Gue selalu berusaha buat masuk ke hidupnya, tapi dia nggak open sama gue." katanya. Kalimat pendek yang mampu menghantar sesak.

"Tapi gue nggak pernah berhenti buat coba masuk. Umur dia itu emang yang paling berat. Gue dulu juga ngerasa berat di umur segitu. Kalau sedih tuh sedih banget, seneng juga seneng banget, stress ya stress banget. Bahkan kalau udah stress rasanya tuh kayak, pengen mati aja gitu, iya nggak sih?" Bertukar pikiran dengan temannya tanpa tahu aku mendengarkan dalam diam.

Sebenarnya saat itu aku tersenyum. Aku punya jawaban dari semua ucapannya.

Ya, aku ada di titik tersulit dalam hidupku. Emosi yang sulit terkontrol dan lingkungan yang tidak banyak membantu.

Semua orang sibuk. Lalu siapa yang bisa jadi tempatku bersandar? Aku tidak bisa berkeluh kesah. Untuk mengungkapkan bahwa aku kecewa dengan lisan pun rasanya sulit.

Dan akhirnya aku hanya memendam. Menutup semua pintu hati demi mencegah luka yang lebih dalam. Sendirian.

Sejujurnya,

Aku ketakutan. Aku lelah. Aku hilang arah.

Aku ingin bersandar walau sebentar. Aku ingin pejamkan mata meski hanya sementara. Aku ingin beristirahat, sebentar saja.

Tapi tidak semua 'ingin' bisa didapat.

Orang-orang terdekatku bilang kalau aku dewasa terlalu cepat. Dan aku pikir memang orang-orang sepertiku juga akan menjadi demikian dengan cara yang terlihat natural.

Kami dipaksa untuk mengerti, mandiri. Dan bersikap lebih dewasa dari pada anak seumur kami lainnya.

Aku ingin berhenti.

Apa aku harus bertahan?

2019, anonymous.

Sepenggal KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang