Karena Salah Paham #03

14 3 1
                                    

Jari-jari tanganku mulai kelu. Kulirik sudut kiri layar laptop. 3000 kata, tertera disana. Aku kembali mendesah entah untuk apa dan entah kali keberapa.

Tidak ada hal spesial. Hanya hari melelahkan lain yang terus membayang-bayangi. Benda persegi kecil di sampingku kembali bergetar. Lagi-lagi hanya kulirik lalu kuabaikan begitu saja.

3000 kata yang kutulis guna alihkan pikiran nyatanya tak memiliki efek yang bertahan lama. Ingatan kejadian itu terus saja mengusikku. Saat mata tajamnya menusuk dan hanya tertuju padaku.

Mungkin bukan hal yang penting. Tapi terus saja membuatku mengerutkan kening. Sesekali mengerang kesal karena merasa lemah.

Kesal karena merasa kalah.

Mungkin keadaan mentalku sedang bermasalah, sehingga suasana hatiku sulit untuk dikendalikan. Aku tidak menangis. Mungkin, belum. Sejauh ini yang aku lakukan hanya mengalihkan pikiran dengan hal-hal yang menyenangkan untukku.

Sepertinya kalian bingung tentang apa yang terjadi padaku hingga aku merasa semenyedihkan ini. Tapi aku juga tidak bisa menjelaskan detail penyebab keadaanku sekarang pada kalian.

Singkatnya, untuk kesekian kali aku dibuat sakit oleh sebuah kesalahpahaman.

Wajahku kerap kali dinilai jutek oleh orang-orang, dan wajah datarku kadang diartikan sebagai ekspresi marah oleh mereka. Tatapanku dikatakan terlihat tajam dan mengerikan. Kadang aku sendiri terheran, menilai tiap-tiap ekspresiku, apa tidak melelahkan?

Maksudku, aku tidak perlu mengubah wajahku sesuai keinginan mereka bukan? Aku tidak boleh berekspresi datar? Harus selalu tersenyum? Pegal sekali pipiku nanti. Lalu aku tidak boleh menatap? Haruskah aku menggunakan kacamata hitam kapanpun dan dimanapun? Oh astaga emosiku kembali naik.

Kenapa orang-orang merasa berhak menentukan penampilan seseorang? Memangnya orang itu yang meminta dilahirkan dengan wajah sedemikian rupa? Apa mereka tidak sadar tindakan mereka kerap kali membuat sang target tertekan? Apa mereka tidak pernah memikirkan tentang bagaimana perasaan sang terget? Atau sekedar mengerti posisi sang target barang sedikit saja?

Bukannya hal tersebut termasuk tindak bullying? Katanya tidak boleh lagi ada bully, tapi nyatanya, kata hanyalah kata. Korban yang harus berjuang. Sedangkan para pelaku tetap pada kegiatannya.

Sebuah hal yang mampu membuat ku terkikik geli sembari menyembunyikan raut jijik pada wajahku.

Kadang rasanya aku ingin berteriak berkata, "Wajah saya memang begini, saya tidak harus sampai melakukan operasi demi mewujudkan wajah yang anda inginkan kan?" Tapi tentu saja rasanya sangat sulit. Lagi dan lagi, yang aku lakukan setiap kesalahpahaman itu muncul adalah diam. Menenangkan diri lalu memasang kembali topeng yang lebih kuat dari sebelumnya.

Menenangkan diri. Menahan emosi.

Jika ada yang bertanya, apa tidak lelah hidup seperti itu? Sepertinya aku tidak akan menjawab. Hanya senyum yang bisa aku berikan saat pertanyaan itu datang. Senyum yang sulit untuk diartikan. Bahkan untuk diriku sendiri.

2019, anonymous.

Sepenggal KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang