Prolog

204 123 115
                                    

Ting!

Suara yang selalu bunyi di kasir pertanda pesanan sudah siap itu membuat si empedu beranjak dari duduknya. Satu coffee caramel milktea yang ditunggu akhirnya bisa diseduhnya dengan perlahan karna uap yang terkepul di dalamnya masih sangat tebal.

Keadaan cafe yang sepi membuatnya memilih tempat ini. Setidaknya cukup sempurna untuk hati yang sedang sepi juga. Matanya tak henti melirik benda persegi panjang yang terletak disamping secangkir coffee tersebut. Berharap akan ada sesuatu yang muncul namun tak kunjung tiba, berharap notif itu kembali hadir namun hasilnya nihil, berharap sesuatu itu bisa diubah namun tidak mungkin.

Mengapa berharap semenyakitkan ini? Mengapa harus bersama bila akhirnya saling melupakan? Dan mengapa melupakan seseorang sesulit ini?

Ia menghela nafas kasar, menundukkan kepala diantara kedua tangannya karna beban yang masih terasa berat baginya. Kalimat yang selalu dilontarkannya dari kemarin itu terus saja diucapkannya.

"Kalau aku tau jatuh ke kamu seburuk ini, aku nggak mau menyukai kamu sedalam ini juga,"

Iya. Kalimat itu, kalimat yang ia tidak tau untuk siapa itu tertuju. Untuk seseorang yang pernah berkesan dalam hidupnya kah atau lebih tepatnya untuk dirinya sendiri? Ntah la. Semua tidak akan serumit ini pada awalnya.

Bunyi kursi yang digeser tidak juga membuatnya menengadah untuk melihat ke arah samping hingga suara yang tidak dikenalnya juga menyebutkan pesanan yang sama seperti miliknya.

"Susunya dikit aja ya mas,"

Itu adalah permintaan yang baru kali ini didengarnya dari seorang wanita. Ia masih tak bergeming sampai beberapa menit hingga pesanan wanita tersebut tiba, terdengar ucapan terima kasih saat ia menerima coffeenya.

Ntah apa yang mengusik wanita itu hingga suaranya memecah keheningan. "Kopi lo udah dingin dan lo sama sekali belum ngehabisinnya?"

Dengan malas, ia mengangkat kepalanya dan menatap wanita disebelahnya tanpa ada minat. Diambilnya handphone miliknya agar segera pergi meninggalkan tempat tersebut namun suara itu kembali menghentikannya.

"Gitu aja tersinggung sampai harus pergi,"

Wanita yang memesan minuman yang sama dengannya itu menoleh dan meletakkan sebelah tangan di atas meja.

"Gue heran kenapa setiap yang patah hati selalu ke tempat ini dan lo juga pasti salah satu diantaranya,"

Fiuh. Siapa wanita disebelahnya ini. Apakah mereka pernah saling kenal? Apakah wanita ini sedang mencoba mendekatinya, dan untuk apa ia mencoba peduli? Hingga uluran tangan dari wanita itu membuatnya menganggap bahwa yang dihadapannya ini sudah gila.

"Kenalin gue Kayora Safra, lo bebas mau manggil Kay atau Yora atau lo manggil Ra aja juga bisa. Menurut gue sih, nama gue unik karna selama gue mengenal orang nggak ada yang namanya seaneh gue. So, salam kenal ya,"

Uluran tangan itu belum juga disambut selama beberapa menit hingga dering telfon yang berasal dari handphone lelaki tersebut membuat wanita itu menarik kembali tangannya. Segera diangkatnya telfon itu tanpa mau melihat siapa orang yang menelfonnya.

"Halo," akhirnya ia mengeluarkan suaranya setelah wanita tadi berbicara panjang lebar.

"Kamu dimana? Gita nelponin mama terus daritadi, kamu nggak lupa kan hari ini janji jemput dia,"

Ia menepuk jidatnya. Lagi-lagi lupa dengan janji adiknya yang selalu ingin meminta jemput padanya.

"Raksa! Kamu lupa kan? Kamu dengar mama ngomong nggak sih,"

"Ha iya ma. Ini aku mau jemput dia, udah ya nanti aku kabari lagi," dan sambungan telfon itu langsung terputus.

Sebelum ia benar-benar pergi, pandangannya sama sekali tidak berpaling dari wanita disebelahnya yang sedang menunggu jawabannya.

"Nggak usah sok tau dan sok dekat sama gue karna perkenalan lo itu nggak penting buat gue," usai mengatakan itu, ia pergi meninggalkan wanita yang dianggapnya sudah gila.

*****

Start: 30 Juni 2021

Traces of TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang