Bagian I

129 104 100
                                    

Bandara Soekarno-Hatta. Tempat dimana setiap orang akan pergi untuk meninggalkan dan datang untuk pertemuan. Tempat yang memiliki kenangan tersendiri bagi mereka. Kenangan kebahagiaan karna yang dinanti akhirnya tiba dan kenangan menyedihkan karna harus merelakan.

Jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Senja mulai menampakkan keindahannya pada bumi. Mobil hitam itu berhenti tepat di area parkir yang sudah ditetapkan. Tangannya bergerak cepat di atas layar putih digenggamannya dengan maksud memberitahukan adiknya bahwa ia sudah sampai.

Matanya tak luput pada bangunan di hadapannya. Kenangan itu kembali hadir, kenangan yang sampai sekarang masih tersimpan jelas diingatannya. Kenangan yang akan selalu membuatnya tertampar akan kenyataan.

Helaan nafas lega terdengar saat yang ditunggu telah tiba dan sedang berjalan ke arahnya dengan raut wajah yang cemberut. Bisa dipastikan gadis tersebut marah padanya. Ia melakukan kesalahan lagi, adiknya sudah menunggu setengah jam yang lalu karna keterlambatannya.

Lemparan tas langsung mengenai lengannya ketika gadis itu sudah masuk ke dalam.

"Bisa nggak sih, lo itu jemput gue tepat waktu. Apa jam di rumah nggak cukup buat lo tau waktu?! Atau lo emang nggak bisa ngelihat jam? Kalo emang lo sibuk ya nggak usah buat janji sama gue, lo pikir nunggu setengah jam disini enak banget,"

"Gue beneran lupa sumpah. Awalnya gue ingat tapi pas di ca—"

Gadis dengan badgename Gita Zamira H. itu langsung memotong ucapannya. "Pas di cafe. Cafe yang dekat kompleks Kejora Indah itu kan. Lo emang gitu Sa, selalu lupa waktu kalo udah disana dan harusnya lo tau lo ada janji mau jemput gue jadi nggak perlu kesana dulu,"

"Maaf, gue beneran nggak sengaja Git,"

"Ntah la. Gue muak makan maaf dari lo mulu nanti juga dibuat lagi,"

Lelaki itu bungkam. Bingung harus bagaimana agar Gita—adik perempuan satu-satunya— itu tidak marah lagi padanya. Suasana antara keduanya pun menjadi hening akibat ia yang belum bersuara dan Gita yang sudah kelelahan karna habis pulang dari camping dengan teman-temannya.

10 menit berlalu dan keadaan masih tetap sama seperti tadi, Gita yang tidak bisa melihat kesenyapan seperti ini pun memecah keheningan.

"Woi Raksa! Kok diem sih, udah capek lo adu mulut sama gue?"

Lelaki itu berdecak. Iya, lelaki yang memiliki nama Raksa Haliwarta, pemuda tampan yang sedang menjalani masa kuliahnya di semester 4 tersebut menatap malas ke arah Gita.

"Males debat sama lo ntar yang ada lo juga yang nangis," Gita memelototi abangnya yang bicara asal saja. Kadang ia heran mengapa bisa mempunyai abang yang akhlaknya dibawah minus, yang hanya bermodal tampang doang.

"Yaudah yuk cabut," ucap Gita yang menyudahi perdebatan tersebut, jika dilanjutkannya lagi maka akan menjadi perdebatan panjang.

Raksa mengangguk dan memutar mobilnya agar keluar dari area parkir. Selama diperjalanan tidak ada yang berbicara, Gita yang sibuk bernyanyi mengikuti alunan lagu yang diputar di mobil sedangkan Raksa hanya fokus menyetir.

"Nanti berhenti di minimarket ya,"

"Buat?"

"Gue mau beli pembalut,"

"Hmm," gumam Raksa

"Nih ya Sa gue kesel banget tadi," ujar Gita yang sudah menghadap lelaki itu karna ingin bercerita.

"Harus sopan sama gue Git,"

"Nggak bisa sopan gue sama lo,"

Raksa berdecak mendengar jawaban adiknya yang tidak pernah mau mendengarkannya namun gadis itu tidak peduli dan kembali bercerita.

"Lo tau pas gue pulang kemah tadi kan kita berempat sepakat buat jemput Mataya di bandara. Nah pas udah dibandara nih, gue ngerasa kayak ada yang keluar gitu jadi gue cek ke toilet eh bambang gue mens rupanya, kan bikin maluuuu. Itu tuh ya posisinya udah kayak gembel, di tambah lagi gue mens udah la nggak tau gue mau ditaruh dimana muka gue. Untung aja si Windi ke toilet buat ganti pembalut jadi kan guenya nggak susah mau minta tolong,"

Raksa menatap adiknya sekilas sembari tertawa kecil.

"Lo mau lihat foto gue pas kemah? Gue suka banget ini karna ada sunsetnya juga,"

"Gue lagi nyetir,"

"Sebentar aja Sa, gue mau ngepost soalnya," pinta Gita sembari menggoyang-goyangkan sebelah tangan Raksa.

"Nggak,"

"Cuma lihat bentar doang, gue nggak nyuruh lo buat komen kok,"

"Di rumah ntar gue lihat,"

"Lo mah selalu gitu,"

Raksa tetap tidak memedulikan Gita yang sudah jelas diketahuinya sedang kesal. Ia malah membelokkan mobilnya ke kiri yang langsung mendapati minimarket.

"Buruan sana beli,"

"Hmm,"

*****

Dua saudara itu masuk kedalam rumah kediaman keluarga Haliwarta yang ternyata sedang kedatangan tamu. Sebagai anak dari pengusaha, rumah ini hampir setiap hari kedatangan tamu.

Raksa, yang notabenenya anak pertama dari Ragnala Haliwarta dan Airani segera duduk disamping papanya ketika pria paruh baya itu menyuruhnya, bukan tanpa alasan Ragnala melakukannya, ia akan memberikan alih perusahaan kepada Raksa jadi anaknya tersebut kadang ikut bergabung bersamanya ketika tamu darinya datang agar Raksa bisa sedikit mengerti tentang perusahaan mereka.

Lalu Gita? Gadis berusia 17 tahun itu sudah masuk kedalam kamarnya setelah menyalami papanya. Ia sudah gerah dengan badannya yang terasa lengket.

Sudah 2 jam berlalu, akhirnya tamu itu pamit pulang ke rumahnya. Raksa bersyukur karna ia bisa membaringkan badannya di sofa, duduk berjam-jam membuatnya sangat pegal. Baru saja ia memejamkan mata, dering telfon yang berasal dari kantong celananya membuatnya terpaksa merogoh dan langsung menerima panggilan itu tanpa mau melihat siapa yang menelfonnya malam-malam begini.

"Woi lo di chat susah amat sih, buruan ke rumah gue sekarang. Nggak usah nanya buat apa, gue yakin seratus persen pasti lo nggak tau kalo ada tugas tambahan dari Pak Yoga sekarang,"

Raksa berdecak dan melihat siapa yang menelfonnya, ternyata si Bio Kw yang mengaku mantannya Baby Tsabina.

"Jam 9 gue kesana,"

"Kelamaan anjir! Mending lo nggak usah datang kayak gitu," sahut Elang yang menguping pembicaraan mereka.

"Yaudah gue nggak datang," ujar Raksa santai, namun keadaan disana tidaklah setenang dirumahnya. Terdengar suara Bio dan Elang yang sedang rebutan handphone agar bisa berbicara dengannya serta suara Tegar yang sedang melerai mereka.

"Woi Sa kalo lo nggak dateng kesini gue laporin lo sama Pak Yoga," ancam Elang yang sepertinya berhasil merebut handphone Bio.

"Lo barusan bilang nggak usah dateng ke dia tapi kenapa sekarang lo ancem dia dateng bego!" Suara Bio yang terdengar sangat jelas membuat lelaki yang sedang membaringkan badannya itu menyimak saja.

"Udah lo diem aja. Lo nggak ngerti gimana cara gue jinakin Raksa," ujar Elang yang langsung mendapat umpatan dari Raksa.

"Anjing! Gue otw sekarang,"

"Lo denger kan. Cara gue berhasil bro, noh orangnya langsung otw kemari," Elang dengan bangganya mengatakan itu kepada Bio dan Tegar yang diyakini Raksa bahwa kedua orang itu melengos pergi. Ia pun segera mematikan telfon tersebut dan berjalan menuju kamarnya, untuk mengambil kunci motor.

*****

Traces of TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang