Prolog

1.7K 225 25
                                    

AKBP Lutfi Tara duduk di ruang kerja dengan cemas. Tangannya memangku dagu. Ia tengah menimbang apakah harus menelepon nomor yang sejak tiga puluh menit tadi dipandanginya tanpa melakukan apa-apa. Ia tak ingin tiba-tiba menghubungi si pemilik nomor dan berbasa-basi. Harus ada alasan yang lebih kuat untuk menyuruh si pemilik nomor pulang ke Indonesia. Lama menimbang dalam ragu, maka diangkatnya telepon dan ditekannya tombol panggil.

Terdengar nada sambung yang monoton. AKBP Lutfi Tara menunggu dalam kesunyian ruang kerja dan bunyi detak jam dinding di ruangan itu.

"Halo," jawab suara di seberang telepon pada akhirnya.

AKBP Lutfi Tara mulai menyunggingkan senyum dan ia pun berkata, "Halo. Bagaimana sandi-sandi purba dipecahkan?"

"Dengan hal absolut. Bahasa sebagai pemecah sandi," jawab suara di telepon setelah diiringi tawa kecil.

Maka meluncurlah pertanyaan lain dari AKBP Lutfi Tara yang makin menggelitik. "Lalu, bagaimana para pejuang dan tentara Amerika berkomunikasi satu sama lain pada masa perang?"

"Ah, Bapak ini kebiasaan. Selalu saja mengulangi pertanyaan klasik setiap menelepon saya," balas si penelepon sedikit tertawa.

AKBP Lutfi Tara ikut tertawa ramah, penuh sifat kebapakan. Ia pun membalas, "Sudah jawab saja."

"Tentu saja dengan bahasa Indian Navajo. Mereka menyebut sistem persandian itu sebagai windtalkers alias pembicara angin."

"Seperti biasa, meneleponmu selalu jadi kegiatan tersendiri bagiku yang mengasyikkan," lanjut AKBP Lutfi Tara.

"Baiklah. Ada perlu apa, Pak? Apakah penting sekali, sebab saya harus mengajar."

AKBP Lutfi Tara merasa pertanyaan-pertanyaan barusan belum bisa menahan teleponnya lebih lama lagi. Ia melirik jam dinding yang sejak tadi mengisi kekosongan ruangannya. Baru pukul satu siang. Berarti, baru jam dua siang di tempat si pemilik nomor dengan kode area Taiwan itu.

"Pak?" tanya lawan bicara Lutfi Tara sekali lagi.

"Kalau begitu, bagaimana cara tentara Jerman dulu berkomunikasi? Ini pasti kau tahu jawabannya dan bisa menjelaskannya dengan lengkap," tambah Lutfi Tara.

Si lawan telepon mendesah lelah. Ia pun akhirnya bicara, "Ini paling mudah. Sekarang di Google juga sudah tersedia jawabannya. Kalau masa saya pendidikan dulu, tentu belum banyak yang melek komputer. Tentara Jerman berkomunikasi dengan melakukan enkripsi oleh mesin enigma. Huruf aktual diterjemahkan menjadi huruf baru yang diputar berdasarkan rotari. Mesinnya sendiri dipatenkan oleh Arthur Scherbius, tentu saja dengan pembaruan teknis rotor elektromekanik. Namun, ribuan pesan rahasia untuk dan hanya dari tentara Nazi ini pada akhirnya sia-sia saja dienkripsi. Sebab, ada yang berhasil memecahkan sistem enkripsi itu dan membuat sandi rahasia tak lagi rahasia."

"Ya begitulah, memang esensi enkripsi kan untuk dipecahkan. Lalu, bagaimana kalau kubilang, aku membutuhkanmu di Indonesia untuk memecahkan sandi yang sulit?" ungkap Lutfi Tara pada akhirnya.

Ada jeda panjang setelah pimpinan Subdit Cyber Crime Reskrimsus Polda Metro Jaya itu menjelaskan maksud sesungguhnya. Tak kunjung mendengar jawaban, tentu saja Lutfi Tara tergelitik untuk bicara lagi.

"Nah, jadi bagaimana, Catur? Apakah aku harus memberimu—"

"Cukup untuk tes kriptografinya, Pak. Tujuan sebenarnya apa?" potong Catur Pandita, si pemilik nomor Taiwan itu sebelum mantan atasannya di Polda lanjut bicara.

"Aku tidak bisa menjelaskan lewat telepon. Intinya, ada urgensi untuk pembentukan tim khusus dalam memerangi terorisme siber. Kami butuh team leader baru, dan setelah semua lembaga menimbang, diputuskan bahwa hanya Catur Pandita yang cocok menjadi ketua tim," jelas Lutfi Tara.

"Bagaimana kalau saya menolak, Pak?"

Lutfi Tara menarik napas panjang. Ia kini membuka berkas di hadapannya dan menutup pembicaraan, "Kau tidak bisa menolak. Kau akan pulang."

"Karena?"

"Kami telah berhasil melacak posisi adikmu," tutup Lutfi Tara.

Catur Pandita hanya bisa tertegun, lagi. Menciptakan jeda panjang antara telepon internasional yang memakan biaya operator seluler itu, tentu saja. Namun, setelahnya, Catur Pandita tak menjawab akan pulang atau tidak, sebab ia terlanjur pamit dari menelepon.

"Saya hubungi balik nanti, Pak. Saya harus mengajar," ucap Catur kala menutup teleponnya.

Lutfi Tara pun menutup telepon tanpa berharap apa-apa. Ia hanya mengemban amanat yang diturunkan padanya dan hal tersebut telah purna. Masalah calon ketua tim itu bersedia menjabat atau tidak, tentu saja dikembalikan pada keinginan Catur Pandita.


***

Cipher | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang