Harapan yang Semu

251 37 13
                                    

Hari ini sekolah tampak sepi. Bukan karena benar-benar sepi secara harfiah. Sebenarnya murid di kelas ini hampir semuanya hadir--hanya tiga orang saja yang absen dari bangkunya. Bahkan Bambang masih senantiasa teriak-teriak keliling kelas. Hanya saja, saat melihat bangku Rio yang kosong, rasanya hampa. Seperti ada yang kurang.

Pertemuan gue dengan cowok itu semalam kembali terputar di benak. Entah bagaimana, Rio seolah mengucapkan perpisahannya. Bahwa ia sudah menyerah dan tak ingin berbuat apapun lagi. Bagaimana dirinya sudah terlalu lelah atas masalah yang menimpanya. Saat ia memeluk gue, gue paham ia hanya butuh tempat untuk bersandar dan melupakan semuanya sejenak.

Walau dengan sedikit tak rela, pada akhirnya gue membiarkan cowok itu melepas pelukannya. Membiarkannya kembali menganggung semua bebannya. Setidaknya, gue sedikit lega saat Bagas mengabarkan bahwa mobil Rio ada di rumahnya. Cowok itu pulang ke rumahnya dengan selamat. Bukan apa-apa, gue hanya takut ia keluyuran entah kemana. Tindakan yang diambil Rio kadang bisa tak terduga.

Di sekolah pun, gue semakin lelah mendengar obrolan teman-teman. Sesuai dugaan, Rio dan Lita menjadi pembicaraan hangat. Mereka berdua dihina-hina. Rio semakin dipojokkan dengan gosip-gosip yang mereka anggap patut dibenarkan sejak kasus Lita. Sedangkan Lita dicap sebagai gadis murahan. Tindakannya dianggap gila karena mengungkapkan semuanya secara gamblang lewat sosial media. Sehingga satu sekolahan ini juga harus menanggung akibatnya.

Repurtasi sekolah ini berbalik dengan sekejap karena ada muridnya yang hamil di luar nikah. Sehingga, ia harus menanggung akibatnya dengan dikeluarkan dari sekolah. Sementara Rio masih diizinkan menuntut ilmu di sekolah ini. Memang, dalam kasus seperti ini perempuanlah yang selalu lebih dirugikan. Sekalipun pihak laki-laki masih diizinkan bersekolah, apakah ada yang berani menanggung malu dan dengan senang hati menerima tatapan aneh dari satu sekolahan?

Tak ada yang peduli perihal siapa yang salah dan siapa yang benar. Orang-orang akan lebih tertarik untuk mempercayai hal yang menggemparkan. Sebab, itu lebih menarik untuk mejadi topik pembicaraan. Jam istirahat baru saja berbunyi sekitar tiga menit lalu. Saat gue sedang membereskan alat tulis pun, Sisi malah ikut menghampiri gue dan ikut memanas-manasi.

"Tuh kan, Ra. Bener yang gue bilang. Harusnya lo jangan deket-deket sama Rio. Syukur nasib lo nggak kayak Lita."

Gue menatapnya dengan sedikit jengkel sebelum akhirnya menghela napas panjang dan berbicara. "Nggak ada buktinya kalau Rio salah."

Sisi berdecak. "Belain aja terus si Rio. Tau nggak sih, sekarang lo jadi kayak bukan Rara yang gue kenal lagi. Lo jadi lembek kalau menyangkut Rio." Demi apapun, bisakan ia diam saja? "Jangan bilang lo suka sama Rio?"

Gue bangkit seketika, membuat Sisi sedikit mundur. Tak ingin membuat keributan akibat terpancing emosi, gue menarik napas dalam-dalam. Berusaha memahami Sisi. Cewek itu memang sudah begitu sifatnya. Bahkan satu sekolahan mungkin memikirkan hal yang sama. Berbeda dengan gue, Bagas, dan Febby yang memang tau bagaimana kehidupan Rio. Tak ada yang dapat disalahkan. Di situasi begini, orang-orang akan mudah termakan isu.

"Justru karena gue Rara yang lo kenal. Gue bukan tipe orang yang bakal percaya gitu aja sama isu yang beredar. Gue nggak memihak siapapun."

Sisi mengedikkan bahunya. "Yah, terserah lo sih, Ra. Gue nggak maksud apa-apa, kok. Gue cuma nasihatin lo sebagai temen."

Gue tersenyum tipis dan mengangguk. Berusaha menghargai rasa pedulinya pada gue. Setelah itu, Sisi menghampiri anak cewek lain dan kembali bergosip sambil berjalan ke luar kelas. Gue kembali melamun. Terhanyut dalam pikiran kosong. Tak dapat memikirkan apapun. Seakan terlalu lelah, bahkan untuk berpikir. Saat itulah Febby sudah berada di hadapan gue. Membuat gue mendogak dan sedikit melebarkan mata. Bertanya tanpa mengeluarkan suara.

My Genius FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang