Sesuatu yang Berbeda itu Terdengar Manis

1.5K 148 20
                                    

Pagi-pagi buta gue sudah terbangun akibat suara tangisan yang amat nyaring samar-samar menyapa gendang telinga. Sambil mengumpulkan setengah nyawa yang sepertinya belum sempurna menuju alam sadar, gue duduk dan mengusap mata. Hari masih gelap. Saat melirik jam dinding, masih pukul empat pagi. Tak apalah. Tak ada salahnya sesekali bangun lebih awal.

Tak lama setelahnya gue keluar kamar dan turun ke lantai bawah. Ternyata gue tak sedang berhalusinasi. Memang ada suara tangisan bayi. Siapa lagi kalau bukan Caca? Ingat kan, adik gue. Angelica Azalea. Betapa rajinnya dia karena hari ini ia merupakan orang yang bangun paling awal di rumah.

Gue masuk ke kamar Caca. Di sana ada Mama yang tengah menggendong Caca seraya merusaha menenangkannya. Penampilan Mama terlihat sedikit berantakan, wajahnya juga lesu. Terlihat jelas bahwa Mama terbangun akibat tangisan Caca. Walau begitu, kecantikannya seolah tak berkurang sedikit pun.

"Ma." Panggil gue dengan suara serak ala bangun tidur. Mama menoleh.

"Eh? Kok kamu udah bangun?" Tanpa menunggu gue menjawab, Mama kembali melanjutkan. "Karena Caca, ya? Papa kamu aja masih tidur pulas banget. Dasar kebo!" Mama tampak jengkel. Gue terkekeh.

"Nggak papa, sesekali." Gue tersenyum, lalu menghampiri Mama. Caca masih terus menangis. "Biar Rara aja yang diamin Caca." Kata gue. Mama terlihat ragu. "Udah, nggak papa." Mama kembali meletakkan tubuh mungil Caca di tempat tidur khusus bayi yang memiliki pagar di sekelilingnya.

"Ya udah. Mama mau ke kamar sebentar. Jagain Caca ya." Gue mengangguk.

Kini, hanya ada gue dan Caca. Wajah mungilnya yang putih memerah akibat menangis. Matanya besarnya memiliki iris berwarna agak keabuan, dengan bulu mata lentik yang telah basah oleh air mata. Kepalanya yang nyaris botak itu ditumbuhi oleh rambut halus--bahkan nyaris tak terlihat--berwarna kepirangan.

Gue menuju meja yang letaknya tak jauh dari sana dan mengambil sebuah mainan. Sambil menguap, gue menggerak-gerakkan mainan itu tepat di hadapan Caca. Seketika itu Caca terdiam, membuat gue mengangkat kedua alis. Bibir kecil Caca sangat manyun. Alisnya juga berkerut seperti orang yang sedang merajuk.

"Muka lo santai aja, dong." Kata gue setengah bercanda.

Tiba-tiba Caca wajah Caca dikerutkan lebih dalam lagi. Ia kembali menangis lagi. Kali ini jauh lebih kencang dibanding sebelumnya. Tak mungkin kan, kalau Caca mengerti omongan gue barusan.

"Kok dia nangis terus sih?"

Suara itu membuat gue terlonjak. Cepat-cepat gue menoleh ke samping dengan mata melotot. Rupanya Kak Arka dengan rambut berantakan dan wajah songongnya yang tadi berbicara. Sepersekian detik pertama setelah gue melihatnya, sebenarnya gue sempat mengira ia adalah hantu. Sama sekali tak ada tanda-tanda bahwa seseorang baru saja masuk. Gue mendelik.

"Liat nih, Caca nangis lagi gara-gara lo!" Protes gue.

Kak Arka tampak kebingungan. Ia mendekati Caca dan merebut mainan di tangan gue. Ia berusaha memberikannya kepada Caca, namun Caca malah melemparkannya tepat ke wajah Kak Arka. Gue mati-matian menahan tawa saat melihat Kak Arka yang meringis. Saat megalihkan pandangan ke arah Caca kembali, betapa kagetnya gue saat melihatnya sedang tersenyum.

"Wah, kayaknya Caca suka liat lo kesakitan, deh." Kata gue girang.

Kak Arka mengangkat sebelah alisnya. Saat Caca terlihat akan segera menangis lagi, gue segera menarik sebelah telinga Kak Arka dengan kuat. Kali ini Caca tertawa kecil, menampakkan mulutnya yang belum ditumbuhi gigi. Kalau begini, ia terlihat sangat menggemaskan.

"Nah, bener kan." Kata gue puas.

"Ih, Caca jahat!" Kata Kak Arka dengan wajah cemberut.

Lagi-lagi, suara nyaring itu kembali terdengar. Ya, Caca menangis lagi. Jujur saja gue mulai agak sedikit merasa jengkel. Haruskah gue menghajar Kak Arka sekarang juga untuk membuat Caca tertawa?

My Genius FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang