Membayangkan Kepergian Korban Keganasan Caca

1.2K 123 36
                                    

Jam menunjukkan pukul delapan malam. Usai makan malam, kami sekeluarga menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga. Di sudut ruangan sana, ruangan terbuka yang tersambung dengan ruang keluarga, Papa tengah berkutat dengan berkasnya. Tampak sedang memilah beberapa berkas sambil membacanya sekilas. Kemudian Papa melepas kacamatanya dan bangkit menghampiri gue dan yang lain.

Di sofa yang cukup besar ini, gue, Kak Arka, Mama, lengkap dengan Caca sedang duduk menghadap ke sebuah televisi yang menyala, menampilkan siaran berita terkini di Indonesia. Kak Arka duduk di paling ujung kanan, di sebelah gue. Sementara Caca duduk antara gue dan Mama. Caca yang tak mengerti apa-apa hanya sibuk bersorak riang dan bertepuk tangan saat berita televisi yang menampilkan prestasi anak bangsa. Seakan-akan ia turut memberikan apresiasi.

Mama mengelus kepala Caca pelan. "Nanti Caca imut harus jadi anak yang berprestasi juga, ya." Caca menoleh dan menatap Mama dengan mata bulatnya yang terbuka sangat lebar. Tak lama kemudian ia terkekeh. Entah karena apa.

Kemudian Papa duduk di samping Mama. Tanpa aba-aba langsung mengambil remot TV dan memutar saluran televisi. Menampilkan berita mengenai masalah politik. Sontak saja Mama merengut dan protes.

"Ih, Papa!" Mama memukul lengan Papa. Namun Papa tampak tak peduli. "Kok di putar, sih?"

Papa masih fokus menonton dan membesarkan volume. Bahkan mengubah posisi duduknya dengan menyilangkan kaki agar lebih santai. Benar-benar mengabaikan Mama. Merasa diacuhkan, Mama mencubit lengan Papa dengan kuat. Hal itu berhasil membuat Papa meringis lalu menoleh, menatap Mama bingung.

"Mama lagi nonton, kenapa diganti siarannya?" Protes Mama.

"Mengetahui perkembangan politik itu juga penting, Ma." Kata Papa acuh tak acuh.

Mau tak mau Mama mengalah. Gue dan Kak Arka hanya diam. Tak mau ikut campur. Caca sendiri telah sibuk dengan dunianya. Ia berusaha menggapai ujung jari kaki dengan tangannya yang pendek, yang tak kunjung berhasil. Hingga acara tersebut menampilkan berita tentang pembunuhan, Mama segera memekik.

"Ya ampun, ganti siarannya! Caca bisa liat!"

"Emang Caca ngerti, Ma?" Celutuk Kak Arka. Caca tiba-tiba tertawa sendiri saat ia berhasil menggapai jari kakinya. Anak itu dengan heboh menepukkan tangannya ke paha.

"Papa, sini minta remotnya." Protes Mama. Namun Papa masih bergeming. Merasa kesal, Mama mencubit perut Papa.

Anehnya, kali ini Papa malah tertawa. Namun tetap meringis di saat yang bersamaan. "Aduh, geli. Ahaha!"

Mama menghentikan aksinya dan melipat kedua tangan di depan dada. Kalau bahasa gaulnya, Mama ngambek mode on. Gue menggelengkan kepala melihatnya. Tanpa gue duga, Caca yang sejak tadi memperhatikan gue juga ikut menggelengkan kepalanya. Hingga ia pusing sendiri lalu berhenti, kemudian tertawa lagi. Gue heran. Caca berbeda dengan bayi pada umumnya. Ia terlalu banyak tertawa. Ya bagus, sih. Setidaknya dia tidak rewel.

"Iya, iya," kata Papa. "Jangan ngambek gitu, dong." Kata Papa saat sedang memutar saluran televisi. Namun, Papa malah menyetel pada sebuah sinetron.

"Ih, kok sinetron?" Protes Mama lagi.

Papa mengernyit. "Biasanya kan ibu-ibu suka nonton sinetron."

"Iya sih, tapi kan ada acara yang lebih bermanfaat, Pa. Yang bisa menambah wawasan gitu."

Mama kembali mengerucutkan bibirnya. Namun juga tetap menonton adegan sinetron pada televisi. Gue memperhatikan Papa yang seakan mati-matian menahan tawa. Gue yakin, Papa sengaja menjahili Mama. Gue tahu betul Mama tak terlalu suka pada hal yang sangat drama begitu. Mama lebih menyukai menonton acara yang dapat menambah wawasan. Papa sesekali melirik Mama yang masih cemberut, namun tak lagi protes. Lalu Papa terkekeh tanpa suara. Gue menghela napas. Dasar, sudah tua masih saja jahil.

My Genius FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang