Dara & Ronald • 4

41 4 10
                                    

RONALD

"Lo berdua pacaran?" tanya Sakti sambil menunjuk kami berdua bergantian.

"Gue--"

"Iya kita pacaran kok," serobot Dara tanpa dosa. "Kenapa memangnya, Sakti?"

Sakti tidak langsung jawab pertanyaan Dara, melainkan mengamati kami berdua dari ujung rambut sampai ujung kaki kayak calon mertua yang lagi meneliti bibit bebet bobot pasangan pilihan anaknya.

"Nggak ada bedanya sih kalian pacaran apa enggak." Sakti bersuara sambil usap dagu sok berpikir. "Sekarang gue paham sih polanya, Nira selalu kalian ajak kerja bareng buat kedok buat pacaran, kan? Nira sabar banget ngadepin kalian." Senyum jahil Sakti terbit sambil telunjuknya nunjuk kami berdua gantian.

Alamak ketahuan deh.

Gue sama Dara serempak mengangguk.

Tapi bener juga yang dikatakan Sakti, kedekatan gue sama Dara sama aja antara pacaran sama berteman. Bedanya, cuma kesepakatan untuk komitmen dan ada seks. Tentu saja yang bagian seks gue tetap minta consent-nya Dara. Gue nggak mau bikin dia nggak nyaman sama sekali. Terserah lo pikir gue aneh, tapi gue nggak bisa kalau soal sensitif ini nggak minta izin dulu.

Gue tahan-tahan ini senyum kalau mengingat adegan seks malam itu. Walau di sofa, tapi sensasinya dahsyat sekali.

"Dar, gue udah checkout pesanan tote bag-nya. Lo cek dulu gih. Gue pakai COD-nya OjekGo." Sakti sepertinya lebih peduli dengan barang belanjaan, syukurlah kalau gitu.

"Siap, Sakti. Mungkin besok atau lusa gue urus." Pandangan Dara yang ceria nan teduh itu beralih padaku. "Kamu nggak mau ikut pesan tote bag handmade ku, Babe?" Dara mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke gue sambil menunjukkan layar ponsel menampilkan katalog tokonya.

Lukisan Dara benar-benar bagus -- bukan, bukan hanya bagus -- tapi cantik dan elegan. Ada gambar dedaunan, tanaman hias, sampai rumah pohon. Bisa juga request dari pembeli, asal kirim referensi dan pemesanannya tiga hari sebelumnya. Kekasihku ternyata punya bakat terpendam juga selain menggaungkan kampanye cinta lingkungan di akun instagramnya.

"Nanti dulu, ya, Sayang. Tasku yang lama masih awet," jawabku. Sebenarnya gue nggak tega nolak, tapi gue masih belum butuh tas baru. Tote bag lama gue masih awet soalnya.

Untungnya Dara paham. Ah, sepertinya gue nggak salah pilih kekasih kali ini. Bener kata pepatah, pacaran dengan sahabat sendiri itu nyaman dan menyenangkan.

"Yuk balik kerja, jam sepuluh malam nih, Gaes. Katanya mau pulang cepet," ujar Sakti mengibaskan tangan.

Selama kerja dan bagi-bagi strategi agar dimau klien bikin kepala gue pening. Sakti membeberkan harga akuisisi yang ditawarkan klien Grup Prasetja, menurut gue harganya masuk akal. Tetapi pihak Grup Martadinaja masih enggan. Herannya, saham Grup ini stabilnya ampun-ampunan. Pantes aja hidupnya Freddi Martadinaja tentram sekali walau masih di jeruji besi. Gue curiga nih mereka pasti mainnya pakai metode 'saham gorengan'.

Pertanyaan di otak gue adalah, tumbenan Grup Prasetja nawarin akuisisi ke anak perusahaan Grup Martadinaja yang bagian alat keruk emas ini. Apa Pak Risjaf mau ekspansi usaha?

Pak Ardhi juga tumbenan kasih kasus buat bela musuhnya sendiri.

Hanya segelintir orang yang tahu tentang permusuhan Pak Ardhi dengan Grup konglomerat yang berkecimpung di dunia tambang emas ini, yaitu Bokap, gue, Nira, sama Dara. Kalau Bokap sih jelas sahabatnya yang nemenin beliau dari zaman susah sampek sejahtera kayak sekarang.

Dari mana kami -- Gue, Nira, dan Dara -- tahu?

Dari cara mengamati gimana Pak Ardhi jauh lebih gigih membela klien yang jadi saingan bisnisnya. Serta sering banget minta banding kalau putusan hakim tidak memuaskan beliau dan kliennya. Bila perlu sampai tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

Syukurnya tuh ya, Pak Ardhi itu nggak pernah melarang pengacaranya ambil kasus yang berkaitan dengan musuhnya. Beliau mah orangnya serius tapi santai, nggak kayak Bokap.

"Ron, anjir lo tumben amat diem. Biasanya sudah nyerocos nanya sana sini." Suara Sakti menyadarkan gue dari pemikiran ini.

"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Dara cemas sambil mengelus pelan bahu kiriku. Rasanya tenang sekali.

"I'm okay, Sayang," jawabku dengan senyum tulus.

Kami bertiga kembali mendiskusikan strategi negosiasi harga akuisisi sampai pukul sebelas malam. Kadang di satu momen, kami bertiga merindukan kinerja Nira yang cepat dan tangkas. Gue terus meyakinkan diri sendiri untuk tidak bergantung ke Nira, dengan atau tanpanya kami tetap bertanggung jawab menyelesaikan kasusnya sampai tuntas.

***

Kali ini gue mengantar pulang Dara sampai lobi apartemen. Gue baru sadar kalau tempat singgahnya ini satu gedung sama apartemen Nira tapi beda lantai. Pantesan aja mereka kadang suka datang bareng di beberapa kesempatan.

"Kamu nyetirnya hati-hati ya, Babe." Dara menghadiahkan kecup di pipiku sebelum turun. Bikin badan gue jadi kayak patung selama beberapa detik.

Gue tahan tangan Dara pas pintu mobilnya terbuka. "Kamu juga jaga diri, ya, Sayang. Kabarin kalau sudah sampai unitmu." Tidak mau kalah, gue kasih hadiah ciuman di pipi dengan durasi dua menit, sedikit lebih lama dari Dara yang hanya lima detik.

Dara mengelus pipi kanan gue. "Pasti aku kabarin kok. Kan biasanya juga gitu, Ron. Bye."

Kebiasaan baru sejak Dara pulang dari Belanda dan sesi antar mengantar ini adalah selalu memastikan dia masuk dalam gedung.

Namun, kali ini firasat gue tidak enak saat ada pria berpakaian serba abu-abu dan kacamata hitam menyamai langkah Dara dari belakang. Kelihatannya orang itu kayak jalan santai gitu, tapi enggak. Gerak-geriknya aneh banget.

Buru-buru gue langsung telepon Dara. Syukurlah panggilannya tersambung, dan bikin si penguntit itu tampaknya tersentak lalu buru-buru memiringkan langkah di tengah-tengah lobi.

"Dengerin aku, Yang. Bersikap wajar, ada yang ngikutin kamu saat ini. Jangan menoleh ke belakang sama sekali. Tunggu, aku sambungin ponselku ke bluetooth biar bisa ngobrol sama kamu sambil nyetir."

Bersambung

•••

800++ kata
(8 Juli 2021)
Happy Reading!

Out Of The BoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang