Ardi • 22 [END]

139 6 20
                                    

2018

Melihat Renita yang puas mencurahkan keluh kesahnya di makam Lia membuat hati Ardhi terenyuk. Tanpa diminta, dia ikut duduk di samping Renita yang masih menyandarkan kepala di sisi batu nisan Lia sambil mengoceh apa saja. Ardhi menggumamkan maaf dan terima kasih berkali-kali, dia berjanji akan terus hidup bahagia dan memanfaatkan sisa umurnya dengan melakukan hal-hal positif. Setelah menyiram makam Lia dan menaburkan sebungkus plastik bunga kamboja, mereka berdua meninggalkan area pemakaman.

Perasaan mereka kali ini adalah ... ikhlas. Saat berjalan menuju parkiran, Ardhi menatap langit, hembusan angin menerpa kulitnya seperti akan ada yang mengatakan sesuatu. Pria itu tersenyum. "Terima kasih, Li, atas segalanya. Maaf jika selama kamu hidup banyak perkataan maupun sikapku yang menyakitimu. Kasih kami berdua semangat dari tempatmu sekarang, ya," bisiknya.

Renita yang sadar tidak ada rangkulan dari Papa menghentikan langkah. Dia menoleh ke belakang, menatap heran Ardhi yang sedang mengangkat kepala.

"Pa, ayo pulang," gadis itu meninggikan suara untuk menyadarkan sang Papa, "Katanya ada janji sama Om Andi, Reni mau main sama Ronald nih udah lama nggak ketemu dia juga."

"Eh, iya, Ren." Ardhi mendekat dan kembali merangkul putrinya. Gadis itu belum pernah melihat sang Papa bahagia selepas ini di tengah-tengah melamun.

"Papa ngomong sama siapa, sih? Mama?"

Ardhi menjawab dengan senyum tipis. Bahkan selama perjalanan dan sampai rumah pun, Ardhi tidak menjawab pertanyaan Renita. Mereka kemudian larut dalam bahagia saat kedatangan Andi dan Ronald, sesaat gadis itu melupakan pertanyaan tadi. Gadis itu menghabiskan waktu seharian di akhir pekan dengan sparring persahabatan bersama Ronald, sementara Ardhi dan Andi berbincang tentang Bos Emas dan perkembangan Yayasan pendidikannya Andi.

Andi dan Ronald baru pulang saat waktu mendekati pukul sembilan malam. Renita sudah lupa untuk menagih jawaban karena terlalu lelah adu tendangan salto. Ardhi sendiri kembali ke kamar tidur bersama Lia. Segala printilan milik Lia mulai dari baju-baju, alat rias, sampai dokumen pekerjaannya masih tertata rapi di tempat semula. Mungkin suatu hari, bila sudah waktunya dia berencana mendonasikan semuanya kepada yang membutuhkan. Ardhi merebahkan diri, memasuki alam mimpi perlahan.

Entah sudah berapa lama dia terlelap, suara bel menggema. Dengan mata mengerjap, Ardhi melirik ke jam weker yang menunjukkan pukul setengah empat pagi. Siapa gerangan yang mengunjunginya malam-malam begini?

Berbekal rasa penasaran, dia keluar kamar dan berjalan ke pintu sambil mengenakan kacamatanya. Ardhi tidak menyadari bahwa Renita mengawasinya dari birai lantai dua. Betapa terkejutnya saat melihat sosok tamu. Ardhi mengerjapkan matanya berkali-kali, apakah ini mimpi? Mimpi yang menggetarkan hati dan jantungnya yang tidak berubah saat mengingatnya. Terserah sebutannya, akan tetapi sosok ini benar-benar nyata.

"Selamat malam menjelang pagi, Ardhi Arsa."

Senyumnya masih sama, walau usia mengubah penampilannya yang dulu beraura rebel menjadi sangat anggun. Prancis membuatnya makin bercahaya, Ardhi tersenyum kikuk. "Selamat malam menjelang pagi juga, Puspa Jati. Silakan masuk." Pria itu memberi jalan pada wanita yang selalu ada di hatinya untuk masuk ke dalam.

Puspa Jati menyebarkan pandangan ke seluruh isi ruang tamu rumah Ardhi. "Rumah kamu ... keren juga,ya." Ardhi tahu Puspa sedang basa-basi karena sama bingungnya.

"Wah, benarkah ini?"

Ardhi makin tidak menyangka saat melihat Renita yang berada di ambang pembatas ruang tamu dan ruang tengah. Sejak kapan dia berada di sini? "Renita, Papa pikir kamu sudah tidur, Nak."

"Gimana mau bisa tidur, Pa? belnya kenceng banget," gadis itu menatap Puspa Jati dengan pandangan bahagia, pandangan yang selalu menjadi bagian favorit Ardhi. "Halo, Tante ... Bunga," sapanya manis.

Out Of The BoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang