Ardhi • 6

101 8 41
                                    

Groningen, Netherland, 1990.

Suara harmonika melantunkan als de orchideen bloeien menguasai ruang utama. Tidak ada yang spesial dari apartment semi berantakan itu. Meja makan yang berfungsi sebagai meja belajar, sofa lapuk yang digunakan untuk area santai, dan rak buku kayu yang kebanyakan menyimpan lebih banyak buku-buku literatur hukum milik Andi Siregar. Sisanya adalah dua kamar yang sangat berbeda situasi, satu modelnya berantakan, dan satunya lagi sangat rapi.

"Hoi berisik," protes Ardhi.

Bukannya berhenti, malah suara harmonikanya makin nyaring, membuat Ardhi kesal.

"Percuma lah kamu pikirin si Rinanda. Dia sudah malam pertama sama suaminya," ujar Ardhi lagi. Sudah satu minggu tembang lawas itu terus mengalun tiap malam sejak Andi Siregar mendapat surat dari Rinanda perihal keputusan untuk menikahi pria lain, membuat hidupnya makin tak bergairah.

Suara harmonika Andi berhenti. "Kamu itu nggak tahu rasanya ditinggal nikah sama mantan yang masih nempel di hati, Dhi."

"Ya emang nggak tahu." Ardhi menenggak bir dua teguk. Ia duduk dan menaikkan satu kaki di pinggir jendela apartment, mengamati turunnya hujan es dan orang-orang yang berlalu lalang.

"Lu mah kebanyakan cewek," cibir Andi.

Ardhi dan pengalamannya dengan perempuan memang jago. Tetapi, hubungannya tidak pernah dikatakan serius. Jangka waktu hubungan Ardhi paling lama adalah lima bulan, itu kebanyakan Ardhi duluan yang mengakhirinya. Andi sampai pusing saat mantan-mantannya datang dan mendengarkan keluh kesah.

"Dari pada lu, cuma ditinggal kawin aja galaunya kebawa sampek sini. Come on, kita sudah di Eropa. Masih banyak kali cewek-cewek yang antri sama lu."

Andi tidak menjawab.

Hujan es turun semakin deras. Ardhi bangkit dari pinggir jendela dan duduk di sofa.

"Males banget bersihin sepeda besok," keluh Ardhi saat memandang jendela yang pinggirnya sudah tertutup salju. Ia menenggak bir lagi untuk menghangatkan tubuh. Bulan Desember memang bulan penyiksaan badan.

"Ah siapa suruh milih kuliah di Groningen?" Sindir Andi, "Kuajak kamu kuliah di Sorbonne alasannya banyak."

"Tapi lu kemakan omongan sendiri, kan? Bilangnya kuliah di Belanda itu nggak asik karena nggak mau berurusan sama apa pun di Indo. Eh buktinya sekarang ...." Ardhi mengangkat alis naik turun.

"Ya nasib keterima di sini, bukan Sorbonne." Andi berpindah duduk di samping Ardhi.

"Jangan sedih lah, Ndi. Siapa tahu di sini kamu bakal dapat pengalaman lebih," hibur Ardhi, "Toh Groningen nggak jelek-jelek banget. Barang-barang di sini murah, suasana tenang. Dan kita terbebas dari penguntit itu."

Andi sedikit membenarkan ucapan Ardhi. Ia mengambil remot dan saluran berita BBC yang masih menayangkan berita euforia runtuhnya tembok Berlin. Tembok itu sendiri padahal sudah runtuh hampir setahun lalu.

"Ya udah, mau refreshing nggak?" celetuk Ardhi.

"Refreshing apaan?"

"Temenku anak Sorbonne tadi ngajakin pesta menyambut Natal di Paris, ya khusus buat anak-anak pelajar Indo doang. Mau ikut nggak?" tawar Ardhi.

Andi mengangkat alis, tidak langsung menjawab. "Boleh-boleh. Bosen di sini nggak ngapa-ngapain. Siapa tahu aja Paris bisa buat aku lupa sama Rinanda. Eh bau woy." Andi langsung menutup hidung saat Ardhi melempar napas tepat di wajahnya.

"Enak tau ini birnya, cobain." Ardhi menggoyangkan  botol bir tepat di hadapan sahabatnya.

"Nggak mau."

Out Of The BoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang