Ardhi • 8

76 7 18
                                    

"Papa ... di situ rupanya."

Bagai dihantam kenyataan, Ardhi gelagapan dan buru-buru berdiri. Dia memutar badannya. "Cepet banget kamu pulang, Nak. Biasanya bilang minta jemput dulu."

"Ah Papa lama banget. Ya udah jadinya Reni pakai taksi online aja," jawab Renita, "Lagi pula Papa ngapain sih di ruang kerja lama banget? Nggak biasanya."

Ardhi buru-buru menutup halaman terakhir buku album yang dia lihat. Dia menyembunyikan buku itu dibalik pinggang, dan menaruhnya pelan di laci kiri meja kerja. Cahaya remang-remang sungguh membantu pekerjaannya kali ini.

"Maaf sayang," Ardhi merangkul putrinya, "Habisnya ruang kerja Papa di bagian rak buku berantakan banget terus ponsel Papa di meja makan nggak kedengaran."

"Oh gitu," mata Renita sedikit menajam, "Kok lama ya beres-beres? Biasanya Papa cepet lho kalau soal kerja beberes."

"Banyak nih bukunya, Ren." Ardhi sedikit terkekeh untuk menutupi kegugupannya.

Renita mengatupkan mulut dan sedikit mengangguk.

Ardhi menutup pintu ruang kerja. "Ren, gimana tadi jalan-jalan sama Kak Nira?" Ardhi berkata sambil berjalan di samping Renita menuju ruang keluarga.

"Menyenangkan sih, Pa." Renita berceloteh tentang acara bersama Nira yang kebanyakan diisi main ke taman dan mengakrabkan diri dengan teman-teman Nira.

"Jadi kenyang, nih?" Ardhi memberi kesimpulan dari akhir cerita Renita.

Renita mengangguk semangat. "Reni mau belajar dulu di kamar. Jangan ganggu."

Sepeninggal Renita, Ardhi menghembuskan napas lega. Setidaknya kali ini dia aman, Renita belum waktunya tau tentang hal ini.

***

Semua berjalan seperti biasa. Renita tidak terlalu bertanya lagi tentang kejadian itu. Ardhi jauh lebih berhati-hati, dia akan membuka lanjutan album kenangan itu saat melihat lampu kamar putrinya padam. Siasat itu berhasil, dan sekarang telah menjadi obat rindu.

Pukul sembilan malam saat Ardhi baru selesai memeriksa berkas duplik. Dia mendapati Renita yang sedang duduk di sofa, diam layaknya patung saat mengunci ruang kerjanya. Ardhi menghampirinya sebentar.

"Eh, Papa." Renita menyambutnya dengan senyum. Ardhi merasakan senyum terpaksa. Dia duduk di samping, merangkul Renita tidak langsung karena tangannya menempel di ujung atas sofa.

Renita masih menyunggingkan senyum, kepalanya sedikit tertunduk.

"Anak Papa tumben nih diem aja," ujar Ardhi, "Biasanya kalau duduk di sini ruangan ini mendadak ramai."

Renita bimbang. Pikirannya melimpah ruah dengan berbagai pertanyaan. Apakah Papanya akan marah, atau justru tertawa jika dia cerita? Atau lebih parahnya, Papanya akan mendadak jadi orang tua posesif. Mendadak tubuhnya bergetar sekaligus jijik.

"Kok diem aja, Ren?" tanya Ardhi.

Gadis berambut ikal itu menggigit bibirnya, matanya berkedip cepat. "Tapi ... Papa janji satu hal ya?"

Ardhi mengangguk.

"Papa pernah nggak ...," Renita bicara sungguh hati-hati, "Merasakan perasaan aneh gitu, kayak ingin bertemu seseorang, terus kayak ingin bersama-sama orang itu. Terus ... kayak ada perasan sedikit nggak suka kalau dia berdekatan dengan seseorang yang merupakan lawan jenisnya?" Renita menatap Papanya penasaran. Jangan ketawa dong, Pa, please Reni mohon.

Ardhi tersenyum mengerti. Dia mengelus pelan kepala Reni. "Itu namanya kamu lagi jatuh cinta, Ren. Kamu jangan khawatir gitu dong, semua orang mengalaminya, termasuk Papa sendiri."

"Terus, Papa sendiri menghadapinya bagaimana?" Reni bernapas lega, berganti dengan tatapan penasaran. Ardhi sangat hafal tatapan itu, pertanda bahwa tidak akan berhenti bertanya sampai puas.

"Papa sih coba buat deketin orang itu. Kalau responsnya baik, Papa menyambutnya dengan baik dan berjalan ke tahap selanjutnya, yaitu pacaran. Nah, selama pacaran itu Papa makin mengenalnya lebih dalam. Kepribadiannya, sikapnya, apa yang dia suka dan tidak suka dan lain-lain."

Renita menganggukkan kepalanya. "Terus kalau orang itu nggak menyambut dengan baik, bagaimana?"

"Ya ... ya sudah nggak usah dipaksakan."

Gadis remaja itu menggangguk sekali lagi, berusaha mencerna perkataan Papanya yang kelewat santai.

Ardhi melempar tatapan menyelidik, murni penasaran. "Hem, siapa ya lelaki yang bikin anak Papa jadi gini?"

Renita tidak menjawab, dia memandang langit-langit rumah yang sangat tinggi. Dia mengingat sebuah kejadian tiga tahun lalu, jauh dari ibukota. Memorinya memutar adegan kejar-kejaran dan saling membantu membasmi penjahat yang membawanya dengan seorang lelaki tampan yang memiliki fisik sama kuatnya tetapi berhati mulia. Rona merah perlahan muncul dari pipinya, terasa panas tapi menenteramkan.

"Oh Papa tau, pasti anak itu, kan? Yang katamu dulu barengan lawan penjahat," tebak Ardhi.

"Ih, Papa," Renita bangun dan mencubit lengan Ardhi, menimbulkan rintihan. Hati gadis itu tidak menyangkal, momen favoritnya terus berkelebat di otaknya ketika dia rindu lelaki itu.

"Kira-kira kabar anak itu sekarang bagaimana, ya?"

"Terakhir yang Renita tahu dia menang lomba basket seprovinsi, Pa," jawab Renita mantap. Renita dan lelaki itu masih saling follow di instagram walau jarang menyapa.

"Cieeee anak Papa stalkingnya cepet," goda Ardhi. Seringai culasnya makin membuat Renita gugup.

"Papa, ih, kan foto dia sering muncul di beranda ignya Reni," sangkal gadis itu, "Tau ah, Reni mau ke kamar aja, ngantuk." Dia bangun dari tidurannya lalu beranjak dari Papanya yang sesekali meneriakkan 'cie' dan 'uhuy'.

Anak muda zaman sekarang, pikir Ardhi seraya menggelengkan kepala maklum. Selama itu bisa membuat Renita bahagia, dia juga turut bahagia.

Bersambung

•••

A/N:
Kira-kira siapa ya cowok yang ditaksir Renita??

780++ words
Happy Reading!!

Out Of The BoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang