Dara & Ronald • 3

51 5 34
                                    

DARA

Aku nggak munafik, seks itu nikmat. Benar-benar obat pelepas stress dan bakar kalori. Tapi .... ada tapinya lho. Seks jika diiringi consent, dua belah pihak saling menikmati dan pakai pengaman, maka akan dapat hasil seperti yang kubilang sebelumnya.

Seperti Senin pagi yang indah ini.

Kugigit bibirku sedikit untuk tahan senyum, pemandangan pagi yang kulihat adalah punggung polos Ronald yang sebagian tertutup selimut.

Namun, aku tersadar satu hal.

"Heh Ron, bangun. Kamu nggak kerja?" Aku mengguncang tubuh Ronald yang berada di pinggiran sofa. Saking dia nggak bisa bangun akhirnya kudorong saja sampai jatuh, untung mendaratnya di karpet bulu hasil berburu di Thamrin City tahun lalu sama Nira.

"Uh, Dar, sakit," keluh Ronald sambil pegang pinggangnya yang tertutup selimut. "Iya bentar lagi, kan, kerja juga."

Sialan karena selimutnya cuma satu, cepat-cepat kututup tubuh polosku pakai kain hiasan buat sandaran sofa. "Nggak usah balik badan, Ron. Ambil baju kamu terus mandi dulu sana. Ada handuk bersih di rak dorong kamar mandi ambil aja."

Dengan malas-malasan dan masih pegang pinggang kayak iklan obat encok, Ronald memungut pakaiannya yang tersebar di meja kopi, bawah bufet televisi, hingga dekat sekat antara tempat tidur dan ruang televisiku. Aku juga ikut memungut pakaianku dan langsung pakai agak asal saat terdengar suara shower.

Bila mengingat kemarin malam, bagaimana kami saling mencumbu dan saling mendamba, rasanya benar-benar lebih dari sekadar nikmat. Tentu saja Ronald pakai pengaman, sebelum pelepasan dia sudah ambil benda itu di kotak P3K-ku. Itu inisiatif sendiri lho, bukan aku yang minta.

Aku mempersiapkan roti tawar yang lagi proses toast, kemudian menaruh selai coklat kacang dan stroberi serta meses di tengah meja makan yang modelnya persegi. Bila Ronald pengen bikin telur, bisa ambil dan masak sendiri di kulkas.

Rotinya sudah terpanggang sempurna saat Ronald keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan wangi sabun. Karena aku nggak punya setelan pakaian pria, dia pakai baju kemarin -- untung kemeja coklat tua sama celana kain hitam -- yang tidak memalukan untuk dipakai ke kantor.

"Aku sudah selesai. Sorry lama, ngeringin dalaman dulu." Ronald duduk di salah satu kursi lalu mencomot roti dan selai.

"Santai aja, Ron. Kamu ambil aja sarapan yang kamu mau. Aku mandi dulu sekalian siap-siap." Aku berbalik menuju drawer samping tempat tidur untuk ambil pakaian kerja sebelum mandi.

Sepuluh menit kemudian, kami sudah berada di meja makan dan menikmati sarapan masing-masing dalam kondisi segar. Tidak ada bedanya di kondisi pacaran sama teman tapi mesra. Kami berdua diskusi kasus yang akan kami kerjakan hari ini, sama sesekali kesal kenapa Grup Martadinaja tetap saja penghasilannya stabil walau direktur utamanya lagi dihukum penjara.

"Ron, kamu sudah memutuskan kasus dari Nira yang akan kita ambil berdua?" tanyaku saat Ronald asyik dengan tablet PC-nya.

Ronald mengangguk sambil minum teh panas dari teko dan masih fokus pada gawai tabletnya. "Masih kasus yang dari Grup Martadinaja sih, tapi bagian yang anak perusahaannya diakuisisi sama Grup lain. Ini, yang mau proses likuidasi. Gimana, Dar?"

"Boleh kok, Ron. Minimal bisa bantu kamu ngitung asetnya yang bejibun." Aku cekikikan yang dibalas senyum santainya Ronald.

***

Bu Vera memintaku ke rumahnya setelah menyelesaikan pekerjaanku di kantor. Pukul sepuluh pagi, rumah megahnya terpampang nyata. Buset, hasil bagi harta gono-gininya sama Pak Freddi lima tahun lalu nggak main-main. Ini gede banget rumahnya walau model minimalis. Salah satu ART-nya bawa aku melewati di antara mobil alpard dan Mercedes Benz lalu menyuruhku masuk ke dua pintu terbuka.

Out Of The BoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang