Bab 24 : The Woman

13 5 2
                                    

Tidak ada yang tahu kapan dunia ini berakhir. Tapi, setiap kejadian yang menimpa seorang gadis bernama Murphy, selalu saja membuatnya ingin dunia segera berakhir. Bahagia itu pasalnya memang relatif. Manusia selalu memandang kebahagiaan dengan persepsi yang berbeda. Ada yang bahagia hanya karena hal sepele saja. Tapi, juga tak sedikit manusia yang beranggapan bahwa bahagia itu adalah hal yang sulit dicapai. Padahal, bukan kebahagian yang sulit untuk dicapai, tetapi karena manusia yang acapkali tidaklah menyadari ada kebahagiaan-kebahagiaan kecil di sekitar mereka.

"Ini bener-bener aneh. Meskipun bisa aja nama ibu dan Rembulan cuman sama, tapi kok bisa pas yang samanya itu di tengah. Iya gak sih?" tanya Murphy dengan penasarannya yang menggebu-gebu.

"Murphy, udahlah, mungkin itu emang kebetulan aja namanya sama," urai Karan yang menganggap itu hanyalah kebetulan semata. Tapi tidak bagi Murphy, dia menganggap mungkin itu adalah jalan terang baginya agar bisa mengetahui dan mengenal ibunya lebih dalam.

"Loh, emangnya bisa gitu ya nama yang sama, tapi ditempatin di tempat yang sama. Ya, meskipun seadainya itu emang kebetulan, tapi lebih baik kita cari tau dulu, kan?" Murphy mencoba meyakinkan Karan. Siapa tahu itu memanglah benar.

Angin berhembus sedikit kencang, membuat daun-daun yang berjatuhan di lapangan sekolah mereka berterbangan. Sekolah sudah sepi. Mungkin hanya beberapa petugas kebersihan yang masih ada di sana. Mereka duduk di pinggir lapangan. Meskipun hanya ada mereka di sana, mereka tetap berbicara dengan suara yang sedikit kecil.

"Iya terus, lo mau kita gimana?" tanya Karan.
Murphy terdiam sejenak. Karan pun melanjutkan ucapannya. "Kalo emang seandainya ibunya Rembulan adalah ibu lo, emang lo siap ketemu sama ibu lo? Setelah enam belas tahun gak bertemu? Lo siap?”

"Siap apanya?"

Karan dan Murphy refleks menoleh ke belakang. Kaget dengan seseorang yang tiba-tiba menimbrung dalam obrolan mereka.

"Haii!!" sapa Reyno--ketika Murphy dan Karan menoleh kepadanya--seraya tersenyum.

Melihat Reyno, Murphy jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu. Ketika Reyno mendeklarasikan hubungan mereka kepada semua orang yang ada di kantin waktu itu. Tapi, semenjak hari itu juga, Murphy belum berkomunikasi lagi dengan Reyno. Lalu, apakah rasa yang dimiliki Reyno kepada Murphy memang benar adanya?

"Lo, lo daritadi nguping pembicaraan kita?" sosor Karan yang siap akan memarahi Reyno jika dia memang menguping pembicaraannya dengan Murphy. Sangat tidak sopan!

"Mmm... ya bisa jadi, memangnya tadi siap apanya?" tukas Reyno tanpa dosa.

Murphy dan Karan bernapas lega. Menilik dari pertanyaan Reyno tadi, itu tandanya Reyno tidak menguping mereka dari awal. Syukurlah, batin Murphy.

"Kok kalian malah diem? Karan, lo nanya apa tadi sama Murphy? Lo tau kan, kalo sekarang Murphy udah jadi pacar gue?" Reyno tiba-tiba mengungkit hubungan dirinya dengan Murphy.

Karan tersenyum kecut. Dia pun berdiri. "Gue udah tau, gak usah lo ingetin berulang kali." Karan menatap Murphy. "Murphy, gue cabut dulu." Karan pun balik menatap Reyno. "Makanya, punya pacar itu dijaga!" ucapnya seraya menyenggol bahu Reyno lalu melangkah pergi.

"Eh Karan...." lirih Murphy. Tapi Karan tetap berjalan pergi. Murphy pun hanya menatap punggungnya yang semakin berjalan menjauh.

Reyno ikut duduk di samping Murphy. Memang benar, dirinya tak becus menjadi pacarnya Murphy. Saking sibuknya dia dengan organisasi nya, juga dengan Frasa, dia melupakan Murphy yang kini adalah kekasihnya sendiri.

"Lo kenapa belum pulang?" tanya Reyno berbasa-basi.

Murphy tersenyum. Tiba-tiba jantungnya berdetak sedikit lebih kencang. "Ah enggak kok, tadi ada urusan dulu kan sama Karan, jadi ngobrol dulu bentar. Kak Reyno sendiri kenapa belum pulang? Masih ada urusan di OSIS ya?"

M U R P H YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang