Bab 28 : Complicated

14 4 1
                                    

Mataku terbuka. Aku langsung menemukan sosok seorang wanita dan dua orang laki-laki. Alison, Karan, dan Esther. Dan aku juga sedang berada di kamarku. Alison sedang menatap ponselnya, Esther mondar-mandir, dan Karan duduk di sampingku—tertidur, mungkin. Tanpa sengaja, Esther menatapku, matanya berbinar ketika sudah melihatku bangun. Dia segera menghampiriku.

"Murphy, kamu udah bangun?" sahutnya.

Tentu saja. Aku sudah bangun, mataku sudah terbuka. Kenapa malah bertanya? Mendengar ucapan Esther, Alison mengalihkan tatapannya dari ponsel ke arahku, Karan juga mengangkat kepalanya—terbangun karena mendengar ucapan Esther.

"Lo udah baikan, Murph?" Karan bertanya.

Fisikku baik-baik saja. Tapi hati dan pikiranku tidak. Aku kembali mengingat perkataan Karan tentang ibuku di perpusnas tad-. Tunggu, sekarang pukul berapa? Berapa lama aku pingsan?

"Jam berapa sekarang?" tanyaku lirih.

"Jam sembilan malam," jawab Esther setelah dia melirik jam tangan digitalnya.

Sembilan malam? Aku pergi ke perpusnas dan bertemu Karan sekitaran pukul lima sore. Itu artinya aku sudah pingsan selama empat jam. Lama juga ternyata.

"Ka-kalian ngapain ngumpul di sini?" tanyaku polos. Memang benar, pastinya mereka berada di kamarku sekarang karena aku tiba-tiba pingsan, tapi memang harus banget begitu semuanya kumpul di sini. Kalau memang iya, kok Ayah tidak ada?

Aku melihat Alison tersenyum kecut. "Ya karena kamu pingsanlah, Murphy. Gimana sih, bikin repot aja," timpalnya.

"Ibu, Murphy baru bangun, udah diomelin," protes Esther, membelaku.

Alison terdiam. Lagian, aku sudah terbiasa juga diomeli oleh Alison. Tapi entah kenapa, aku merasa lebih pusing melihat mereka berkumpul di sini. Aku membutuhkan waktu untuk berpikir. Ya, untuk berpikir.

"Kamu mau minum, Murphy?" Esther bertanya.

Tapi tidak, aku tidak ingin apa-apa sekarang, aku hanya ingin sendiri. Aku menatap Karan, dia masih menatapku. Ada apa dengannya? Aku hanya pingsan. Kenapa dia belum pulang?

"Kalian bisa keluar?" tanyaku to the point.

Esther mengernyitkan dahinya. Tiba-tiba Karan menyentuh dahiku. "Lo beneran gak apa-apa kan?" tanyanya.

"Aku gak apa-apa. Jadi bisa kalian bubar sekarang? Aku hanya ingin sendiri." Aku menimpali.

"Kamu itu bener-bener aneh ya. Nih ya, Karan dari tadi nungguin kamu sadar, dia yang bawa kamu ke sini, tapi kamu malah nyuruh dia keluar. Ya ampun ini anak, udahlah pusing, terserah kamu aja." Alison pun segera melengos ketika mengatakan hal itu.

Aku terdiam. Tapi mungkin Karan akan mengerti, aku perlu mencerna semua ini, mencerna kehidupanku, dan kenapa harus serumit ini.

Aku melihat Esther mengangguk. "Ya udah, kamu istirahat ya, kalo ada apa-apa bilang, buat apa bikin speaker di luar kamar kalo gak digunain," ucapnya. Dia pun mengelus rambutku lalu melangkah pergi ke luar kamar. Kini hanya tersisa Karan, dia hanya menatapku dari tadi.

"Lo beneran gak apa-apa?" Karan bertanya—yang mana ini adalah pertanyaan yang dia ulang untuk kedua kalinya.

Aku mengangguk pelan. "Iya, aku gak apa-apa. Jadi, bisa tinggalin aku sendiri?"

Karan terdiam. Aku juga. Kami saling terdiam untuk beberapa lama. "Lo kenapa sih selalu bikin gue khawatir?"

Wait, aku tidak mengerti. "Maksud kamu?"

Karan terdiam lagi sebentar. "Kenapa sih lo selalu bikin gue gelisah. Dan kenapa harus Reyno? Padahal yang selama ini bantuin lo, selalu ada di sisi lo itu gue, tapi kenapa harus Reyno yang lo suka, Murphy ...."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

M U R P H YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang