Bab 17 : Deadlock

21 8 0
                                    

Murphy's POV

Aku menggerutu kesal. Menyesal karena menuruti teka-teki Karan dan melakukannya. Ayolah, mana ada gudang di sebuah Perpustakaan Nasional? Karena kesal, aku menolak traktiran Karan membelikanku minum, dan akhirnya kami pun tertambat di meja depan supermarket-beristiharat karena kelelahan.

"Udahlah, Murphy. Ngaku aja kalo lo juga haus, beli minum gih. Kan udah gue bilang, gue yang bakal traktir," suruhnya seraya menyeruput minuman botol dengan sedotan.

Aku memalingkan muka. Menyebalkan! "Lagian, kamu ngotot banget mau nyari gudang di sana, mana ada Perpustakaan Nasional ada gudangnya," tandasku kesal. Karan menyeruput minumannya lagi. Lalu menoleh ke arahku lagi.

"Mendingan lo beli makan atau minum, lama-lama tuh ya otak lo yang encer itu jadi beku karena gak diisi cairan. Cepetan sono beli makan atau minum," kilah Karan yang semakin membuatku jengkel. Tapi Karan ada benarnya juga, dalam keadaan lapar atau haus, dan dalam keadaan tubuh kekurangan cairan, tingkat konsentrasi otak akan menurun, karena itulah, aku pun berdiri dan berniat masuk ke supermarket.

Mataku melotot, aku segera jongkok di bawah meja tempat duduk aku dan Karan. Karan yang merasa keheranan, dia menoleh ke bawah meja. "Ngapain lo malah ngumpet? Emang lagi main petak umpet ya?" celotehnya. Sungguh, aku ingin segera mempulintir telinga Karan sekarang juga, dan menjahit mulutnya itu.

"Ssstttt...." Jari telunjukku terangkat di depan bibir. "Lihat ke parkiran, ada Frasa dan Kak Reyno, gimana kalo mereka tau identitas aku yang asli?"

Mendengar itu, Karan ikut menoleh. Di parkiran, satu mobil berhenti di sana. Reyno dan Frasa keluar dari mobil itu, keduanya berpakaian stylist. Seakan-akan pasangan baru yang begitu serasi. Karan menoleh ke bawah meja lagi--tempat aku bersembunyi. "Ampun dah, Murphy. Mereka ga bakal ngenalin lo sebagai Murphy yang cupu, culun atau apalah itu. Mereka bakal ngenalin lo sebagai Murphy keluarga Gracio. Cepet ke luar, aneh-aneh aja."

Sungguh, aku ingin menyumpal mulut Karan sekarang juga. "Bukan mereka, tapi Reyno. Reyno udah tau identitas aku, gimana kalo dia ngasih tau Frasa?" Aku khawatir, resah, takut, semuanya rasa yang tidak bagus tercampur aduk.

"Ya bagus lah kalo Frasa tau. Seluruh netizen tau kalo lo itu adik tiri Esther. Frasa juga tau. Kalo dia tau lo adik tiri Esther, dia bakalan jadi baik sama lo, karena dia gak mau jahatin orang yang akan jadi calon adik ipar nya." Hah? Adik ipar? Siapa yang mau jadi adik ipar dari nenek lampir kayak dia. Iya, wajahnya good looking tapi kelakuannya? Tuh kan, aku jadi mengumpat!

"Cepetan ke luar, Murphy. Lo ngumpet di sana juga tetep bakal keliatan," ejek Karan lagi. Karan pun menarik tangan ku, dan aku pun terpaksa keluar dari sini. Aku segera membalikkan badan ke arah supermarket, membelakangi Karan, juga Frasa dan Kak Reyno yang sedang berjalan masuk ke supermarket. Bagaimana kalau mereka melihatku?

"Heiii, siapa ini? Karan Viladesh kan?" Terdengar sapaan Frasa yang ditujukan kepada Karan. Mendengar Frasa menyapa Reyno, aku segera berpura-pura sedang berkaca di jendela supermarket.

Di jendela, terlihat pantulan Karan yang sedang tersenyum menanggapi sapaan Frasa. Aduh, adrenalin ku berpacu seperti kecepatan cahaya.

"Wah, first time ya kita ketemu. Kalo gak salah, kamu juga sekolah di SMA Beverly ya, Karan?" Frasa mulai so akrab sekarang. Terlihat Karan mengangguk sambil tersenyum di pantulan jendela. "Wah, ternyata kita se-sekolah ya sama Karan, Reyno, kamu kenal dia?" tanya Frasa yang mungkin sekarang sedang menoleh ke arah Kak Reyno.

M U R P H YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang