Bab 11 : A Glimmer of Truth

29 14 0
                                    

Invisible Syndrome adalah sebuah penyakit yang bisa membuat penderitanya tak terlihat. Pita suaranya mengecil, hingga suara dan ucapannya tak terdengar.

Buku di tutup dengan kasar. Satu paragraf permulaan isinya sudah membuat napasnya sesak. Apalagi suasana di taman belakang sekolah yang hening dan rindangnya pepohonan membuatnya sedikit bergidik.

Buku itu tidak bertele-tele, penulisnya seakan-akan ingin memberitahukan informasi secara gamblang tanpa basa-basi. Hanya saja, satu hal yang tersirat di batin Murphy. Benarkah ini nyata? Bagaimana bisa hal ini disebut sebuah penyakit?

Murphy membuka kembali buku itu. Membaca lanjutannya.

Hanya satu dari 95 orang mengalaminya. Namun bisa tiba-tiba meningkat jika penderitanya mewarisinya secara genetik. Maka, penyakit itu akan terus ada hingga tujuh turunan sekaligus.

Napas Murphy tercekat. Apa maksudnya? Apakah mungkin Murphy mengalami penyakit ini karena ibunya mewarisinya? Dia menghela napas berat. Dirinya seakan-akan sedang mengalami mimpi yang sangat buruk. Ini begitu mustahil, dan ya. Sangat tidak masuk akal.

Ia berdiri. Tak tahan lagi untuk melanjutkan membaca buku tersebut. Meskipun rasa penasarannya menjalar di seluruh tubuhnya, tapi rasa sesak di dadanya mengalahkan hal itu. Dia sungguh tak tahan lagi. Dia harus mencari Karan, dan menyuruhnya membacakan buku itu untuknya. Dia membuka ponsel dan mencoba mengirim pesan kepada Karan.

Murphy J. M.
Kamu di mana?
Aku nunggu di taman kok
gak dateng? Woy, buruan ke
sini

Sent

Murphy berjalan meninggalkan taman. Dia harus melewati lorong kecil dan gelap untuk segera pergi dari taman itu. Biasanya, lorong itu sering dijadikan tempat para siswa melanggar aturan sekolah. Merokok, berpacaran, sampai membolos di sana. Namun tak ada yang berani menelusuri lorong itu sampai akhir hingga tak ada yang tau di sana ada sebuah taman kecil yang rindang dengan pepohonan.

Brukk!

Kakinya tersandung. Dia tak sadar ada seseorang di lorong itu-yang menyandung kakinya dengan sengaja. Orang itu tertawa cekikikan. Murphy menoleh dan menatap orang itu.

"Kenapa? Sakit, ya?" ejek Frasa merasa tak berdosa.

Murphy berdiri. Dia baru menyadari, bukunya terjatuh dan terlempar beberapa langkah di depannya. Dia ingin mencoba tidak mengacuhkan Frasa, penyakitnya terlalu penting daripada ocehan Frasa.

Murphy menghela napas, dan berjalan mengambil bukunya. Frasa tersenyum kecut, dia berlari dan segera merebut buku itu dari genggaman Murphy.

"Kak, tolong balikin Kak bukunya," pinta Murphy. Dia mencoba merebut bukunya dari tangan Frasa. Tapi Murphy kalah cepat, Frasa segera mengangkat buku itu tinggi-tinggi. Jelas, tinggi Murphy kalah dengan tinggi Frasa.

"Ow ... Ini buku apa, ya?" ucap Frasa dengan tangan masih mengangkat buku itu.

"Kak, aku mohon Kak. Balikin bukunya...." Murphy mencoba mengambil buku itu-menjinjitkan kakinya. Tapi tetap saja, tangannya tak bisa menggapainya.

"I-invisible Syndrome? Hah? Buku apa ini?" oceh Frasa seraya menengadahkan kepalanya ke buku itu. "Wait, Invisible Syndrome? Sindrom tak terlihat?"

Murphy mengumpat. Kenapa dirinya bisa bertemu dengan nenek sihir ini di waktu yang genting ini? Menyebalkan!

"Kenapa lo baca buku kek gini?" sergah Frasa-bermaksud menghinanya.

Murphy terdiam. Ayo Murphy, cari alasan paling masuk akal! "A-aku suka aja bacanya," jawabnya gugup.

"Gak meyakinkan sekali, ya!" cerca Frasa. Dirinya mencoba mencari titik kesalahan Murphy.

M U R P H YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang