02 | Si Pengirim Surel

3 2 0
                                    

*

*

*

Bukan salahnya kalau Rey selalu mendebat Ayahnya.

Pria tua itu bahkan tak peduli pada Rey apalagi keinginan putranya. Yang menjadi fokusnya hanyalah jabatan juga kemajuan perusahaan.

Memang seberapa penting perusahaan kecil itu sampai Ayahnya mati-matian menggusur asa yang sudah Rey rancang sejak kecil?

Syukurlah, Rey kini hidup dengan bebas dan mengerjakan sesuatu yang disenanginya.

"Enggak, Bang, perusahaan Ayah itu bukan sekadar sarang tikus kek yang lo sebut-sebut itu."

"Perusahaan itu juga gak sepenting yang lo gembar-gemborin itu," Rey membalas.

"Kalo gak penting, Ayah gak bakal sekeras ini sama lo."

Rey benci tatanan ini. Terlahir sebagai anak sulung benar-benar membelenggunya. Tidak, bukan kelahirannya yang memposisikan Rey seperti sekarang, namun aturan tak tertulis di keluarganya itu.

Tak harus anak sulung. Adik Rey yang duduk di depannya ini jauh lebih ideal.

Dia cerdas, ulet, bijksana dan kreatif. Benar-benar harapan besar untuk seorang pemimpin. Termasuk untuk memimpin perusahaan Ayah mereka ーRey terlalu berlebihan tentang perusahaan itu yang mirip sarang tikusー di kemudian hari.

Ansel Adhitama, adik Rey yang sangat suportif, justru mendukung penuh kakaknya menjadi penerus bisnis keluarga alih-alih mengajukan dirinya.

Lingkaran setan ini harus diputus.

"Ayolah, Bang. Lo bisa jadi presdir sambil kerja serabutan sebagai komikus," celetuk Ansel. "Lo bilang menggambar adalah hidup lo. Kalo gitu jadilah pemimpin perusahaan, hasilin banyak uang, terus pake uang itu buat majuin seni rupa di Indonesia ini," lanjutnya.

Perkataan Ansel sedikit mengusik prinsip Rey dan membuatnya tersenyum. "Lo selalu bijak seperti yang diharepin. Kenapa gak lo aja yang ambil alih perusahaan terus kasih gue nafkah seumur hidup buat majuin seni rupa di Indonesia?" balas Rey.

Karena mau bagaimana pun juga, Rey adalah seniman Indonesia. Menafkahi Rey sama dengan kiat memajukan pesona seni rupa Indonesia.

Ansel menggeleng-geleng. Dia terkekeh bersama kakaknya setelah beberapa candaan ringan lainnya.

"Omong-omong, gue mau minta maaf."

Ansel hampir tersedak minumannya ketika mendengar ungkapan kakaknya barusan. "Gue belom mau mati Bang."

"Permintaan maaf ini gak akan membunuhmu. Denger, Sel, gue bener-bener gak suka bikin lo dan Ibu merasa gak nyaman dengan konfrontasi gue sama Ayah. Gue bingung harus gimana setelah gue selalu diam sejak dulu."

Ansel dapat melihat rasa bersalah dalam manik sendu kakaknya. Hidup mereka memang berat meski sepanjang jalan mereka tak kekurangan apapun.

"Gue minta maaf karna bikin lo dan Ibu merasa gak nyaman."

Ayah sangat keras pada mereka berdua. Tapi Ansel merasa kalau Ayah jauh lebih tegas pada Rey. Sejak kecil Rey selalu ditimpa banyak aturan dan tuntutan, tidak dibiarkan bebas seperti kebanyakan anak, serta harus hidup mengikuti wadah yang sudah dibuat oleh Ayah.

KissophreniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang