Aku anak perempuan berumur enam tahun saat itu.
Dimana masa pertumbuhan yang seharusnya sedang senang-senangnya.
Bahagia bertemu dua orang terhebat di dunia.
Tapi, semesta sedang tak berpihak padaku.
Di waktu yang seharusnya indah, berubah menjadi sendu.
Sendu yang tak kunjung cerah dikemudian hari.
Jangankan untuk cerah, untuk sedikit bercahaya pun tak akan.Aku adalah anak yang ingin bersinar waktu itu.
Dikala malam aku bermimpi, cahayaku akan benderang di pagi hari.
Tapi tak kunjung tiba.
Aku lupa, kalau itu hanyalah sebuah mimpi-mimpiku.
Mimpi yang tetap menjadi mimpi.Entah, aku pun tak tahu mimpi apa yang sedang aku alami.
Mimpi ini mungkin tetap menjadi mimpi abadi.
Entah apa nama yang sesuai untuk mimpiku.
Mimpi buruk? Tapi yang sedang aku impikan adalah keindahan.
Mimpi indah? Tapi tak pernah seindah kenyataan.Dua orang terhebat yang seharusnya menemaniku dari umur enam tahun, kian menunjukkan rasanya.
Rasa yang mungkin tertahan sejak lama.
Rasa sabar, rasa egois, rasa marah, atau hanya sebuah rasa yang tak kunjung puas.Dua orang terhebat di dalam hidup seorang anak biasanya, tak berlaku padaku.
Apakah aku termasuk anak spesial?
Apakah aku termasuk anak yang tak beruntung?
Apa aku termasuk anak yang aneh?
Semua bergemuruh di dalam kepalaku.
Sedang meminta untuk segera dijawab, apa sebenarnya aku?
Aku rasa, aku adalah anak yang tak beruntung.
Tapi tidak, aku beruntung dalam bidang lain.
Apa aku anak yang spesial? Tapi aku tak memiliki hal yang dapat aku tonjolkan sebagai kelebihanku.
Apa aku anak yang aneh? Mungkin. Mungkin aku adalah anak yang aneh.
Dimana anak lain lebih senang bermain di tempat ramai dan ditemani dua orang terhebat.
Tidak denganku, lebih suka dengan keadaan sunyi senyap dan kesendirian.Terimakasih untuk pengalaman yang berbeda.
Terimakasih kepada dua orang terhebat di dalam kepalaku.