Oneday

12 2 0
                                    

Sore rasanya sangat cepat. Tak terasa suara adzan sudah bergema di telingaku. Aku dan papa pulang dengan membawa banyak sekali bugkusan.

"Pa, nenek ngga marahkan kita beli snack yang banyak?" tanyaku memastikan.

"Engga. Kakak tenang aja, kan ada papa," ucap papa menyombongkan diri.

"Kalo dimarahi, ini semua salah papa ya," peringatku.

"Iya sayang," jawab papa.

Sedikit lagi. Aku sudah melihat dari jauh gerbang hijau rumah nenek. Jantungku sudah bersiap-siap mendengar omelan.

"Assalamualaikum..." teriakku di depan pintu coklat.

"Waalaikumsalam, wahhh banyak bangetttt... nenek boleh bagi ngga?" sambut nenek menghampiri aku yang sudah membawa banyak plastik.

"Nenek ngga marah?" tanyaku ketakutan.

You know? Jantungku sudah berdegup kemcang, seperti mobil balap yang siap melesat.

"Ngga dong, asal nenek dikasih ya," ucap nenek sambil mengajakku duduk di sofa abu-abu.

"Oke deal," jawabku.

"Assalamualaikum," ucap papaku tiba-tiba di depan pintu.

"Waalaikumsalam," jawabku dan nenek.

"Gimana kak? Dimarahi ngga sama nenek?" tanya papa memastikan.

"Ngga pa," jawabku malu.

"Tuhkan, kakak ngga percaya sih," ucap papa sambil membawa semua belanjaan tadi.

"Eittt, mau dibawa kemana tuh?" tanya nenek menyetop papa.

"Mau dibawa ke kamar," jawab papa.

"Sini-sini. Ngga sopan banget," gurau nenek.

Nenek kini membongkar semua belanjaan di dalam plastik.

"Apanih kak?" tanya nenek padaku.

"Itu tu keju nek, enak tau. Nenek mau?" tanyaku.

"Rasanya gimana?"

"Ada asinnya. Ah banyak nek, susah ngomongnya," jawabku ketawa.

"Kita pakein roti mau?" tanya nenek.

"Boleh," jawabku.


Sambil berjalan ke arah dapur, sesekali aku menghapal tata letak rumah yang tak pernah berubah. Aroma kopi yang sangat ramah masuk kedalam penciumanku.

"La, sini deh," panggil nenekku.

"Ya nek, ada yang mau diambil?" tanyaku menawarkan bantuan.

"Lala gapapa kan tinggal sama mama? Ngga ada yang jahatinkan?" tanya nenek.

Kenapa tiba-tiba nenek bertanya seperti itu ya?

"Hehe, gapapa nek. Nenek kenapa?" tanyaku bingung.

"Kalo Lala ngerasa ngga nyaman sama mama, Lala boleh kemari ya sayang," ucap nenek sambil menatap mataku yang sangat dalam.

"Okey nek"


Selesai sudah urusan roti, kembali sudah aku kepangkuan Papa.

Jika boleh jujur. Rasa nyaman tertinggiku berada di Papa. Walaupun sangat jarang Papa bersamaku, tapi perilakunya padaku tak pernah sekaras Mama padaku.

Tak ada maksudku untuk mneyimpan beban yang sangat dalam. Tapi, rasa ketidakbersalahannya yang buatku tak nyaman.

"Papaaa..." teriakku sambil berlari kecil ke arah kamar papa di bagian depan rumah.

Tangan mungilku sudah sangat penuh dengan menggaman roti keju buatan nenek.


"Ah awas, hati hati kak. Jangan lari lari sayang, ntar jatuh kakak nangis," gurau papa sambil menggendongku.

"Nih buat papa," tawarku mengarah ke mulut sang buaya yang sudah siap melahap.



Trauma In ChildhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang