Rindu

12 1 0
                                    

"Rindu adalah hal yang wajib dalam hari-hariku"

👪

"Lala kok udah lama sih ngga main kerumah nenek," tanya nenek yang sudah memangku diriku di sofa.

"Kan Lala sekolah, jadi ngga boleh kemana-mana nek," ucapku.

"Kan mainnya kerumah nenek. Emang ngga mau?" tanya nenek lagi.

"Mau banget nek, tapi...," ucapanku terhenti.

"Kenapa?" tanya nenek.

"Nanti kalo aku minta kemari, aku takut mama marah kayak kemarin nek," jawabku.

"Kamu dimarahi mama nak?" tanya nenek sedikit terkejut.

Aku hanya mengangguk.

"Ooo... nanti kita marahi balik itu mama. Berani-beraninya marahi cucu kesayangan nenek," ucap nenekku menyemangati.

"Gausah nek, mama udah minta maaf kok," ucapku.

"Yaudah deh. Sekarang kita ganji baju dulu yuk. Kita cari baju Lala dulu ya," ajak nenekku.

"Ayok,"

Aku turun dari pangkuan nenek dan menggandeng tangannya.

Selesai sudah urusan ganti-mengganti pakaian. Kini saat makan siang.

"Pa... katanya mau beli snak yang banyak, ayolahh..." ajakku.

"Makan siang dulu ya, nanti kita langsung pergi," pinta papa.

"Janji ya, jangan boong," kataku memperingati.

Papa langsung mendekat dan menggendongku. Berjalan kearah meja makan yang sudah diisi nenek disana.

"Yuk sini duduk sama nenek," pinta nenek.

Aku turun lalu duduk di pangku nenek untuk makan.

"Aaa..." titah nenek.

"Lala udah besar nek, udah bisa makan sendiri," ucapku.

"Yahh, tapi nenek pengen nyuapin Lala," ucap nenek memelas.

"Yaudah, tapi nenek jangan bilang ke mama ya, janjii..." ucapku sambil mengacungkan jari kelingking.

"Janji dong," kait nenek.

Dengan hikmat aku menikmati makan siang yang sedap ini. Hanya suara gesekan piring dan sendok yang terdengar bergema.

"Minum susunya," pinta nenek.

"Nek, ngga mau susu coklat. Ganti boleh?" tanyaku tak enak.

"Mau susu apa?" tanya nenek.

"Susu panila ada nek?" tanyaku balik.

"Emm... kayaknya sih ada, Lala mau itu?" tanya nenek.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Kini nenek menurunkanku dan berjalan ke arah dapur. Tak lama nenek kembali dengan cangkir mungil yang kuingat.

"Wahh... ada cangkir Lala disini," ucapku sambil berlari menyusul nenek.

"Eee... awas jatuh sayang!!" spontan papa berteriak.

Aku langsung terdiam sambil menatap nenek. Aku terkejut. Ahh jantungku berdebar.

"Maaf, papa ngga marah, papa takut Lala jatuh," ucap papa yang kini sudah menggendongku.

"Udah nih susunya, minum dulu," sodor papa.

Aku hanya diam. Suara keras tadi masih bergema di kepala. Mataku memanas menahan tangis.

"Shttt, papa minta maaf ya," ucap papa sambil mencium tanganku.

Hanya anggukan.

👨

"Sayang, ayo buru," panggil papa dari depan rumah.

"Sabar pa... sendal Lala ngga ada," ucapku sambil menghampiri papa.

"Udah gausah pake sendal, nanti kita beli di luar," ucap papa sambil menggendongku dan berjalan ke arah motor.

Pagar sudah terbuka memberikan motor papa jalan. Dengan santai, papa membawa motor. Membelah angin sore yang sepoi-sepoi.

"Lala ngga pulang kan, pa?" tanyaku ketika teringat mama.

"Ngga. Lala tidur sama papa malam ini," ucap papa.

Jawaban yang membuatku ingin teriak kegirangan.

👩

Ditempat lain, mama sudah sangat risau. Anaknya yang tak kunjung pulang membuatnya khawatir. Dia sudah datang ke sekolah, hanya mendapatkan gerbang yang sudah terkunci.

"Lala dimana sih, kenapa ngga langsung pulang,"

Risau.

Itu yang mungkin sedang terjadi di diri mama. Tak mendapatkan kabar keberadaan anaknya.

"Apa Lala dibawa..." pikir mama.

"Ahh iya, itu pasti," sambungnya.

Dengan sigap ia menggambil telfonnya dan mencoba menghubungi seseorang yang ia tuduh di kepalanya.

"Hallo, Lala mana?" tanya mama langsung tanpa basa-basi.

"...."

"Bawa kemari atau aku yang jemput dia," pinta mama dengan penekanan disetiap kata.

"..."

"Oke. Cukup tiga hari," mama langsung memutuskan sambungan telfonnya.

Terasa lega sudah rasa bimbangnya.

Trauma In ChildhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang