Hari kian menjadikan ku anak yang special. Mungkin.
Tapi tunggu, kurasa bukan harinya tetapi keadaannya.
Keadaan dimana aku harus terus mencoba menjadi anak biasanya.
Bahagia tersenyum dan tertawa akan hal yang bahkan tak ada lucunya.
Aku termasuk toxic yang sempurna.Semakin hari umur ku hampir menginjak tujuh tahun.
Hari itu, hari dimana aku sangat benci akan hadirnya dua orang terhebat di dunia.
Tau alasannya mengapa?
Inginku ungkapkan semuanya dengan tenang. Tapi aku yakin aku tak akan bisa.
Rasa apa yang akan ku keluarkan dari mulutku ini.
Yang aku tau, aku mampu menyimpan semuanya sendiri dengan baik.Aku ingin menceritakan semuanya di buku ini.
Satu yang kumau pada kalian yang membaca.
Jangan pernah memandang orang dari sebelah mata ataupun menggampangkan sesuatu yang sangat sulit bagi orang lain.
Cukup cermati saja dan ambil yang bisa diambil.***
Diwaktu aku TK. Aku adalah anak yang merasa semua tak adil. Padahal saat itu aku juga ga tau sedang terjadi apa di duniaku.
Hingga suatu ketika, aku bangun di pagi hari. Semua tampak berbeda di kepalaku. Aku mulai merasa aneh dengan posisiku.
Awal yang aku rasa adalah ketika aku hendak berangkat sekolah. Biasanya mama mengantarku dengan sangat riang, kini berubah menjadi sendu.
"Mama capek?" tanya ku kala itu.
"Gak kok," jawab Mama sambil tersenyum sendu.
"Kalo sekolah belajar yang pinter, jangan banyak main-main," ceramahnya.
"Iya mah. Kalo mama capek bilang sama kakak ya," ucapku dengan mata tulus.
Mama tak menjawab. Kami berjalan dengan tangan yang mengait sempurna.
Tiba disekolah aku meminta mama untuk pulang, aku merasa mama butuh istirahat banyak.
"Mama pulang aja, kakak bisa sendiri kok," pintaku.
"Yakin ditinggal?" tanya Mama memastikan.
"Yakin dong. Kan kakak udah gede, udah bisa jaga Mama juga," ucapku polos.
Hanya senyum yang terpancar dari raut wajah mama.
Aku mulai berjalan masuk ke kelas meninggalkan Mama di gerbang hijau.
Wanita berbaju biru sudah menunggu kehadiranku di depan kelas. Ya, dia guruku.
Dengan riang aku tersenyum dan menyalam tangannya di depan kelas.
Periang ya aku dulu, tapi tak lama.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Tunggu. Tunggu lima belas menit lagi, akan terdengar gemuruh yang membuat hati bersorak.
Menit-menit terakhir sangat menegangkan. Bagaimana rasanya pembagian raport.
Tiba-tiba namaku bergema di dalam ruangan berwarna hijau ini. Mata yang kian santai berubah menjadi tegang menuju depan kelas.
"Ayo kedepan, nyanyikan lagu kesukaanmu," pinta guru di depan.
Perlahan aku berjalan menghampiri guruku. Tidak. Aku tidak tremor kok, aku sangat senang dengan perintah itu.
Tentu, hobiku menyanyi. Aku sangat senang bila disuruh kedepan kelas menunjukkan bakatku.
Sambil melenggang santai, aku menggandeng tangan guruku sambil tersenyum.
"Mau nyanyi apa nih?" tanya guruku.
"Balonku," jawabku singkat dengan riang.
Aku mulai bernyayi dan diikuti temanku yang lain. Kini perhatian semua berada di depanku. Aku senang menjadi pusat perhatian.
Tak terasa bel berbunyi ketika laguku masih mengalun indah di ruang kelas. Aku langsung terdiam menghentikan nyanyianku dan berteriak "yeayyyy".
Asik ya aku dulu.
Semua temanku berlari kearahku meninggalkan buku dan pewarna yang masih berantakan di atas meja warna warni.
Ya, apalagi kalau bukan bermain dan menyantap bekal bersama. Hal yang paling ditunggu semua anak saat sekolah.
Aku tidak munafik, aku bahkan tak pernah membawa bekal ke sekolah. Bukan karna aku tak mau. Bahkan aku sangat ingin, tapi itu takkan pernah terjadi.
Dimana temanku memakan bekal dari Mamanya, aku hanya memakan chiki-chiki yang kubeli di sekolahku. Melihat mereka makan di atas ayukan besi bersamaku.
Tapi jangan khawatir, aku tak pernah mengemis kasihan pada mereka. Bahkan, ketika mereka menawarkan bekalnya aku menolak. Bukan sombong, tetapi aku ingat kata Mama.
"Jangan pernah menerima pemberian orang hanya karna belas kasihan,"
Bekal bukan berarti tali pertemanan. Aku tetap bermain dengan teman-teman. Mereka masih menganggapku ada.