Pluem baru saja mengusir Mond. Dari tempatku duduk di sofa sayup-sayup ku dengar Mond mengiba, memelas pada Pluem agar tidak di pecat.
Aku pun kasihan mendengar suaranya yang bergetar di antara suara tv yang membaur. Tapi mau bagaimana lagi, itulah konsekuensinya dari melanggar aturan kerja serta kedisiplinan.
Aku menoleh ke arah suara dimana Pluem berdiri dengan Mond mengiba. Ku bayangkan tangan Pluem terkibas di depan hidung Mond tanpa peduli rengekan remaja tanggung itu.
"Kamu itu selalu terlambat. Tidak kah kamu pikir, saya dan Phi New sangat membutuhkan orang-orang semacam kalian? Tapi apa? Merasa dibutuhkan jadi bisa semena-mena?" teriak Pluem dengan suaranya yang berat.
Suara Mond makin memelas diiringi dengan janji-janji manis tak akan terlambat. Semuanya tetaplah janji. Mond akan melakukannya lagi di lain waktu.
Aku berdiri begitu telingaku menangkap suara gebrakan meja. Pluem pasti sangat marah.
"New mau kemana?" lenganku dipegang Billkin. Suaranya terselip kunyahan keripik. Sepertinya ia tengah menonton tv dan mendengarkan perdebatan Pluem-Mond dengan memakan keripik.
"Aku ingin ke kamar." Jujur saja, rengekan Mond benar-benar membuatku muak. Ditambah kepalaku yang pusing.
"New!" tiba-tiba saja tanganku digenggang seseorang. Ku yakin Mond orangnya. Karena tanganku terasa basah oleh tetesan air yang hangat. Pastilah airmatanya. Ia memohon padaku, mencari pembelaan.
Aku tersenyum kecut mendengar isakannya. Mond memang asisten yang baik untukku. Ia rajin meski kadang-kadang suka mendumel di belakang Pluem. Ia sering mengira jika aku tertidur dan tak mendengar semua omelannya. Hanya saja, ia tak pernah tepat waktu sedikitpun. Kecuali hari gajian.
Aku menghela nafas melepaskan tanganku dari pegangannya.
Di situ tangis Mond pecah. "Aku memecatmu dengan pesangon. Jadi cepatlah pergi."
Aku mendengar Pluem menjeritkan nama satpam rumah, dan Mond mulai beranjak dari tempatnya.
"Nah, pergi juga kan dia." Sungut Pluem.
Aku berjalan kembali ke sofa. Menyamankan dudukku. Memikirkan berapa kali lagi harus mengganti asisten?
Jane─ ia berhenti karena mendapatkan kerja tetap setelah ijazahnya keluar.
Mook─ ia harus kembali ke Phuket begitu mendengar ibunya meninggal. Mengurusi kebun dan adik-adiknya.
Tian─ ia tidak ingin meneruskan kontrak karena sudah mendapat pekerjaan yang lebih mengentengkan.
Dan terakhir, Mond─ ia di pecat karena tidak pernah tepat waktu.
"Lihatlah, aku jadi terlambat rapat karena mengurusi orang tidak taat waktu seperti dia. Aku bisa gila!" ku dengar langkah Pluem mondar mandir di ruangan tv.
"Billkin! Siapkan selembaran lowongan kerja untuk asisten. Kita harus cepat!"
Sulitkah mencari asisten untuk pemuda buta seperti ku?
Menjadi asisten saja sudah melelahkan apalagi asisten orang buta? Bukan kah itu berlipat capeknya?
"Dimana dasiku?!"
.
.
.
.
.
Aku tengah berjalan gontai menuju kos-kosan yang sudah seperti apartemen pribadi ini. Aku bukan anak orang kaya, tidak juga anak orang miskin. Tapi yang pasti mengenai diriku adalah aku suka uang. Ya, aku sangat mencintai uang. Tidak ada yang bisa membuatmu bahagia selain uang. Dengan uang kamu tentu bisa membeli apa saja, bahkan seorang teman.
Di pinggir jalan tampak tertempel selembaran rancu yang tak beraturan. Biasanya tidak ku hiraukan karena ku pikir pastilah sedot tinja atau jasa les privat. Tapi judulnya membuatku ngiler, 'lowongan kerja'. Aku tak butuh di sedot apalagi sedot privat. Aku butuh duit. Apalagi di masa-masa sulit seperti ini. Semoga lowongan kerja ini halal ya, aku juga pilih-pilih uang karena uang haram tidak semanis uang halal. Aku langsung mendekat.
Ku baca perbaris dengan perlahan tak mau terburu-buru. Ku resapi benar-benar kalimat yang tertera.
Gajinya besar, karena ku kira deretan angka itu adalah nomor telepon. Nyatanya itu adalah bayarannya. Gila! Dimana aku bisa mendapatkan pekerjaan seperti ini dengan gaji sebesar ini di kota besar jaman sekarang?
Aku menyobek lowongan kerja yang lain, berniat mengurangi pesaing.
Persyaratannya tidak berat. Hanya menghubungi nomor yang tertera. Aku jadi curiga, jangan-jangan ini penipuan? Ah, biarkan saja. Aku akan usaha dulu. Kalaupun pekerjaannya berat aku tinggal keluar saja.
Tidak perlu waktu lama untuk memikirkannya, aku langsung menghubungi nomor tersebut.
Seorang laki-laki menjanjikan bertemu nanti malam di sebuah restoran mewah yang sering ku datangi bersama teman-teman hangout kala malam minggu. Ya ya ya teman-temanku memang orang kaya raya. Kan, sudah ku bilang pada kalian jika uang bisa membeli seorang teman. Untuk mendapatkan kasta tertinggi bukankah kita harus berteman dengan golongan atas?
Aku memilih baju terbaik yang ku punya, kesan pertama sangatlah penting saat melamar pekerjaan.
Di sinilah aku sekarang, restoran yang sering digunakan untuk kalangan atas. Lampu pijar antik di beberapa sudut. Banyak orang asing singgah di sini. Ku rasa calon majikanku sangatlah kaya raya.
Penataannya bagus dengan cahaya temaram menimbulkan kesan mesum atau romantis, ya aku tak begitu peduli tujuannya.
Seorang pelayan yang cantik lagi berbadan ramping menghampiriku. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Ya, saya ingin bertemu dengan Pluem Purim." Pada telfon kemarin aku hanya perlu mengatakannya jika ada pelayan yang bertanya.
Pelayan itu tersenyum sebentar,
"Anda yang ingin melamar menjadi asisten Tuan New Thitipoom?" tanyanya dengan sopan dan ramah. Aku hanya mengangguk ragu. Sebenarnya aku pun tak tahu apa pekerjaan yang akan ku lamar. Ternyata menjadi asisten. Tapi gaji menjadi asisten tidak sebesar itu, benar-benar orang kaya kelebihan uang.
"Mari ikuti saya."
Pelayan tersebut membawaku masuk ke sebuah lorong, Nampaknya itu adalah jalan menuju ruangan VVIP. Di sini semua nuansanya di dominasi oleh warna putih, sangat berkelas dan megah. Benar-benar selera orang kaya. Sementara pelayan yang masih tersenyum itu membukakan salah satu pintu yang tampak paling keren di antara lainnya.
Aku mengabaikan senyum ramahnya. Di dalamnya sudah ada dua orang lelaki, yang satunya tersenyum dengan lesung pipi yang dalam. Sementara yang lainnya tampak diam tanpa ekspresi. Mungkin ia sesusiaku. Atau lebih muda.
"Kamu membawa surat lamar kerjanya?" Tanya pemuda yang tadi tersenyum tanpa basa-basi. Bagaimana ya aku harus menjelaskannya? Ia tampak sangar, dengan suara berat yang di keluarkannya. Namun senyumnya Nampak konyol.
"Ini." Ujarku menyerahkan surat lamar kerjaku. Beserta semua lampirannya.
"Nama Tay Tawan?"
"Ya."
"Pernah bekerja sebelumnya?"
"Belum."
"Pernah terlibat kasus criminal?"
"Jika mencuri hati termasuk kriminalitas, maka Saya adalah kriminalitas yang berat."
Ku lihat ia melotot. Aku hanya berusaha nyengir "He, bercanda."
Ia menggelengkan kepalanya. "Nanti saya hubungi. Sekarang kamu boleh pergi."
Sudah? Segitu saja?
Aku sudah berdandan lebih dari satu jam dan wawancaranya begitu saja?
Setelah mengucapkan terima kasih aku berpamitan. Rasa-rasanya aku sudah gagal di awal. Aku tidak akan di terima bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pair Of Eyes
FanfictionAku tidak pernah menyukai warna hitam, hingga akhirnya ia datang membawa warna padaku di dunia yang gelap.