Tidak ada yang berbeda dari minggu ini. Aku masih memikirkan Tay seperti biasa. Lebih-lebih setelah pertengkaran yang membuatnya pulang lebih awal. Jika dulu aku tidak memusingkan keadaan Tay, sekarang beda nyatanya.
Aku diam-diam menunggu suara berat yang sarat akan candaan muncul di telingaku. Meski suara Pluem lah yang ku tangkap.
"Apa ada sesuatu yang mengganggumu phi?"
"Apa?" Tanya ku sedikit terbata.
"Kamu tampak terdiam."
"Bukankah aku memang selalu diam?" Pluem tengah memilihkanku pakaian. Ia hanya sibuk akhir pekan jadi mulai dari senin hingga jumat, Pluem lah yang bertanggung jawab mengurus segala keperluanku. Pernah sekali aku mendengar Tay protes dengan pakaian yang ku pakai. Ia mengatakan jika perpaduan warna yang Pluem berikan sangatlah payah. Membuat orang sakit mata melihatnya.
Billkin begitu berisik pagi ini, ia mengeluhkan bagaimana model secantik Jennie Panhan bisa jatuh di atas Catwalk. Jelas-jelas wanita secantik Namtarn adalah manusia. Ia tetap akan melakukan kesalahan sebagaimana manusia seharusnya.
Aku lagi-lagi tidak menghabiskan makananku. Meski Pluem sudah berteriak layaknya orang kebakaran jenggot. Ia ikut-ikutan mengeluh tentang dasinya yang menghilang secara ajaib. Menyalahkan semua orang di sana.
Sementara aku? Apalagi yang harus ku keluhkan. Tentu saja kebutaanku.
Mereka mengganti chanelnya.
Pluem ganti sibuk mengomentari seorang penyanyi di televisi, yang menurutnya sangat hebat. Jika aku tidak salah dengar namanya adalah Ice Paris. Billkin sesekali menimpali dengan nada begitu semangat sampai-sampai kurasakan sesuatu menabrak kakiku.
"Bajunya seperti pernah lihat." Bisik Billkin pelan diselingi kunyahan keripik.
"Bukankah itu baju yang pernah digunakan Tay?" Tanya Pluem, selanjutnya mereka sibuk dengan pembicaraan yang tidak ku mengerti.
Tay, kenapa aku merasa kehilangan meski ini belum lah hari sabtu?
.
.
.
.
.
Pluem masuk tepat saat aku memakai baju. Bau badannya tercium mendekat.
"Phi, ada yang ingin aku katakan padamu."
Aku sendiri sedang duduk di pinggir jendela menikmati udara pagi yang segar. Tay yang pertama kali menunjukkannya padaku ia kerap menuntunku kemari dan mulai mengerjai rambutku yang sudah mencapai bahu.
Pluem duduk tepat di hadapanku, begitu yang ku kira karena gerakan angin serta wangi badannya tepat menyentuh hidungku.
"Phi, aku akan keluar sebentar lagi. Billkin akan ikut bersamaku, apakah kamu mau ikut?" aku menggeleng cepat. Tidak pernah sekalipun aku mau ikut keluar bersama adikku itu, aku hanya tidak ingin merepotkannya. Lebih-lebih jika itu urusan kerja.
Aku hanya akan menghabiskan waktu dengan meraba dan mengira-ngira. Orang buta sepertiku memang pantas diam saja kan?
"Apa kamu yakin?"
Aku kembali mengangguk mantap. Suara klakson hampir mengagetkanku. Pluem memegang tanganku setelahnya ia melepaskannya.
Suara kereketan pintu kembali terdengar, karena sudah beberapa bulan tidak ada yang mengolesinya minyak. Mungkin Tay akan mengolesinya besok.
"Ah iya."
Aku menoleh ke tempat Pluem berada. Ku dengar nafasnya terhenti beberapa detik sebelum hembusan berat mengiringinya. "Tay tidak akan datang besok. Ia ada urusan penting."

KAMU SEDANG MEMBACA
A Pair Of Eyes
Fiksi PenggemarAku tidak pernah menyukai warna hitam, hingga akhirnya ia datang membawa warna padaku di dunia yang gelap.