Pluem pulang setengah jam sebelum jam kerja Tay berakhir. Ia berteriak dan menendang kursi begitu melihat kakiku yang membiru. Begitu kata Billkin yang mengompresnya agar tidak menjadi ungu dan makin lebam.
Bisa ku bayangkan Tay akan menunduk tanpa mau mengangkat kepalanya. Suaranya yang berat dan penuh candaan hilang entah kemana. Sementara aku hanya duduk di tepi ranjang tanpa tahu apa-apa.
Pluem merepet tentang kakiku lagi dan lagi. Ia bahkan mengancam Tay akan melaporkannya karena hendak mencelakai seseorang yang cacat.
"Nong* Pluem, sudahlah." Ku dengar Pluem mendengus kasar. Belum pernah aku mendengarnya semarah ini sejak kebutaan. Pluem selalu berbicara halus dan lembut padaku.
"Apanya yang sudahlah phi ? Kakimu terluka parah. Asistenmu hanya luka ringan di pipi. Apa kerjaannya? Bagaimana jika kakimu patah tulang? Jadi mulai sabtu depan tidak usah datang lagi. Aku akan mengurus pesangonmu."
Tay tidak mengiba seperti Mond.
"Sudahlah jangan marah lagi. Dan jangan pecat Tay."
"Tidak bisa phi. Yang ia lakukan terlalu fatal."
Aku meraba ke depan mencari tubuh Pluem untuk ku gapai. Ternyata aku mendapatkan tangannya. "Pluem, terima kasih karena khawatir padaku. Tapi aku tidak mau ganti asisten. Aku cukup menyukai Tay dan tak mau merepotkanmu lagi."
Aku mendengar helaan nafas panjang dari Pluem. Jika ia sudah seperti itu, tandanya ia sudah akan menurutiku.
"Baiklah, aku beri satu kesempatan lagi. Dan kamu, angkat phi New ke mobil. Kami akan ke rumah sakit."
Ada rasa senang di hatiku mendengar perintah Pluem. Biasanya Billkin yang akan menggendongku ke dalam mobil.
Aku menunggu dengan dada berdebar saat tangan Tay menyalip diantara leher dan perpotongan kaki ku. Dengan cepat aku mengalungkan tanganku ke lehernya. Lagi-lagi yang ku cium adalah aroma khas tubuhnya.
"Ayo tunggu apa lagi." Semprot Pluem saat kami tak bergerak.
Ku dengan Tay mengendus. "Dia darah tinggi ya?" bisiknya pelan.
Aku tersenyum kecil karenanya.
.
.
Aku duduk di pinggir ranjang New. Jam kerjaku sudah habis tetapi Pluem belum pulang.
"New."
"Hmm..."
Tanganku terangkat di depan wajahnya. Hampir mengenai pipinya namun segera ku hentikan. Bayangan diriku tengah memeluknya membuatku gila akhir-akhir ini. Dan setelahnya, aku akan segera merasa bersalah.
"Tidak jadi."
New menoleh padaku perlahan "Kamu aneh."
Aku tidak menjawab. Aku sudah berjanji akan mengurangi ejekanku. Sambil mengawasinya yang terlarut dalam lamunan. Bertanya-tanya, apakah yang tengah ia pikirkan?
"Jam kerjaku sudah habis."
Aku berdiam diri. Baru kali ini berat rasanya meninggalkan New. "Kamu boleh pulang, Tay." Aku tersenyum sedikit. "Akan aku tunggu sampai adikmu pulang."
Dan New tersenyum. Entah senyum itu untuk apa aku juga tidak paham, tapi aku menyukainya. Menyukai deratan gigi yang putih, juga tahi lalat di ujung hidungnya.
Aku hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi bersama New. Walaupun hanya berdiam diri dan menatap wajahnya yang menatap kosong ke depan.
"New." panggilku pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pair Of Eyes
FanfictionAku tidak pernah menyukai warna hitam, hingga akhirnya ia datang membawa warna padaku di dunia yang gelap.