Phi New lagi-lagi tidak menghabiskan makanannya. Ia terlihat lebih murung ketimbang saat buta. Kenapa dengannya? Setelah mengacak-ngacak nasi goreng bikinan Billkin. Ia bergegas kembali ke kamar. Lalu menguncinya.
"Kenapa phi New tampak tak bahagia?"
Aku mengangkat bahu. Berusaha mengenyahkan pikiran burukku.
"Apakah karena Tay?"
Aku menoleh pada Billkin yang masih menggunakan apron. Ia tampak balas memandangku bingung. Aku menuntut sebuah penjelasan. Mungkin ada yang terjadi selama aku tidak ada di rumah.
"Itu karena... Selama ada Tay, phi New tampak lebih bersemangat. Sesekali ku lihat ia tersenyum. Tidakkah kamu menyadarinya?"
Aku menggeleng. Sedikit membenarkan perkataan Billkin. Tidak pernah sekalipun ku lihat Phi New terlalu murung sejak ada Tay. "Katamu, New mendapatkan mata dari Tay?"
"Beberapa bulan lalu Tay menemui dokter yang pernah menangangi phi New sejak kebutaan, setelah mendapatkan rekam medis phi New, Tay meminta izin untuk mengundurkan diri. Lalu Namtarn, teman kosnya, memberitahuku jika ia menemukan donor mata yang cocok untuk phi New."
"Dan itu adalah milik Tay?"
"Temannya bilang, ia harus merahasiakan ini, tapi ya, Tay yang memberikannya."
"Bukankah untuk mendonorkan mata, hanya yang sudah meninggal? Artinya, Tay sudah..."Aku tahu Billkin sengaja menggantungnya sampai situ saja. Karena matanya sudah mulai berair. Ia pasti tak sanggup meneruskannya.
Aku menghela nafas dalam. Aku juga tak tahu sebenarnya. Dan sempat tidak peduli juga. Yang aku pikirkan hanyalah Phi New mendapatkan donor mata yang pas dari bank mata setelah dua tahun lamanya. Tidak peduli dari siapa, karena ku pikir bank mata pastilah memilih yang terbaik.
"Aku akan ke kamar Phi New."
.
.
.
Aku mengetuk pintu yang telah dibuka. Phi New tampak meringkuk di ujung ranjang. Begitu masuk pun ia tidak repot-repot menoleh. Rambutnya yang panjang berurai begitu saja.
"Phi..."
Phi New masih tidak mengubrisku.
"Bagaimana keadaanmu?" Tanyaku, tapi New lagi-lagi hanya terdiam.
"Apa kamu tahu kenapa aku memilih Tay menjadi asistenmu?"
New menoleh sedikit, tidak benar-benar berniat melihat. "Karena jawabannya saat wawancara yang lalu. Ia mengatakan jika mencuri hati adalah kriminalitas maka ia adalah kriminal kelas berat. Tidakkah itu membuatmu berpikir jika ia—"
"Urak-urakan."
Aku tercekat beberapa saat mendengar New menjawabnya dengan gamblang. Aku tersenyum dalam diam. "Ya, urak-urakan yang tampan dan penuh semangat. Ia memang kadang menyebalkan, tapi justru itulah karismanya. Ia bisa membuat orang menyukainya di samping rasa kesal. Sejujurnya, sebelum ia mengundurkan diri ia pernah bilang padaku. Bahwa ia masih melihat semangat yang tersembunyi di balik senyummu."
Phi New bergerak menatap mataku.
"Ia mengatakannya begitu tulus, bahwa ia ingin Phi bisa melihat kembali dan menjalani hidup dengan semangat yang tersisa. Dengan itulah aku berani memberinya rekam medis phi. Maafkan ku jika tidak mendiskusikan hal ini padamu sebelumnya. Tapi... aku harap, Phi New tidak menyia-nyiakan apa yang telah Tay korbankan."
Aku berdiri hendak beranjak dari sana. Sebelum ku sadari jika ternyata New tengah menangis dalam diamnya. Air mata mengalir hingga ke dagu putih miliknya. Tanganku terulur meremas bahu rubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pair Of Eyes
Fiksi PenggemarAku tidak pernah menyukai warna hitam, hingga akhirnya ia datang membawa warna padaku di dunia yang gelap.